HASIL
SURVEY TEMUAN PERMUKAAN DAN EKSKAVASI TAHUN 2011
|
MANIK-MANIK KACA MONOKROM;
MANIK-MANIK INDO-PASIFIK
Manik-manik kaca, dan juga manik-manik dari batu merupakan salah satu
temuan permukaan tanah yang sering ditemukan di Pulau Kampai. Tehnik
tarik-potong kaca yang sangat khas dari kawasan Asia Selatan, baik dari
Gujarat maupun dari Arikamedu, India (sejak abad ke-1 SM. Hingga abad ke-17
M.). Tehnik potong kaca tersebut menghasilkan bentuk potongan manic-manik
kaca yang khas pula, yaitu; (a) pipa; silinder, (b) bulat pipih, dan (c)
bulat, bahkan (d) bentuk kerucut ganda yang langka. Bentuk manic-manik
tersebut sangat homogeny, dari yang besar 6 mm hingga yang keci lebih dari 1
mm.
Bentuk pipa (silinder) merupakan bentuk yang umum pada manic-manik kaca dari
Pulau Kampai. Manik-manik kaca ini dalam terminology P. Francis dikenal
sebagai manik-manik tipe ‘indo-pasifik’, (P. Francis, ‘Glass Beads in
Asia Part Two, Indo-Pasifik Brads’, Asian Perspectifves 29; 1-23, 1990). Manik-manik
kaca dibuat dengan tehnik tarik kaca, lalu dipotong. Warna polikrom (jenis polikrom satu warna) dengan pewarnaan menggunakan satu warna,
yaitu; hitam, putih, kuning, coklar/merah (redwood), hijau giok, biru langit
(trasnparan). Jenis polikrom hitam
paling sering di ditemukan dalam jumlah yang paling banyak, lebih kurang 40
%, dari 109 temuan permukaan selama survey di Pulau Kampai, lalu diikuti
polikrom kuning, coklat/merah rewood dan warna putih dalam jumlah sedikit.
Manik-manik kaca berupa pipa dengan kerucut dengan warna polikrom
coklat/merah (redwood). Sebuah bentuk yang meniru manic-manik batu cornelian
yang jarang diterapkan pada manik-manik kaca.
|
(Photografer Biliater Situngkir, Medan, 9;2011)
Manik-manik batu cornelian salah satu barang dagangan dibawa pedagang
kaya chettyar India-Hindu atau Nina India-Islam. Batu indah atau
permata dari Asia Selatan telah diperdagangkan kawasan Asia Tenggara sejak
abad ke-1 SM. hingga ‘Jaman Pertengahan”, pada abad ke-9 M hingga abad ke-14
M. Bahkan pada situs arkeologis dari ‘Jaman Pelayaran dan Perdagangan Dunia’
abad ke-16 M. hingga 17 M., biasa ditemukan, terutama di Sumatera.
Gujarat salah satu yang dikenal sebagai tempat penghasil batu permata di
kawasan India banyak menghasilkan manik-manik batu jenis kornelian (Sumarah Adhyatman & Redjeki Arifin, 1993;
11).
|
MANIK-MANIK BATU CORNELIAN
Teknik potongan batu permata dengan membentuk manic dengan pengasah dan
melubanginya dengan gurdi/bor dari dua arah. Tehnik ini sering menghasilkan bentuk potongan batu, terutama bentuk;
(a) pipa/silinder polygonal, dan (c) bulat.
Jenis batuan kwarsitik berwarna
merah, kadang bernuansa kekuningan atau orange yang bercampur sedikit warna
putih dan coklat kehitaman. Jenis ba tuan ini mempunyai kekerasan 6,5-7 skala
Mohs dan tergolong batu indah semi permata. Ukuran manik pipa/silinder
polygon panjang 3 cm dan diameter 1 cm, sementara manik bulat berdiameter 1
cm.
Kornelian merupak salah satu jenis batuan kaca alami berwarna atau kuarsa
yang indah, karena memiliki aneka warna dan cerah. Benda indah ini sangat
disenangi di kawasan Nusantara, terutama Sumatera bagian Utara. Hal tersebut
karena tradisi menggunakan manik-manik telah dikenal sejak sebelum
manik-manik kaca diperkenalkan. Benda ini sejak jaman proto historis (pra
sejarah akhir) telah dikenal sebagai perhiasan untuk memperindah tubuh dan
sebagai benda yang dipercaya mendatangkan kebaikan.
|
Perdagangan Manik-Manik. Manik-manik kaca dan
batu di Pulau Kampai merupakan barang dagangan ‘mewah’ yang sering
diperdagangkan dalam jaringan pelayaran dan perdagangan antar benua pada ‘jaman
pertengahan’, terutama dari abad ke-9 M. hingga abad ke-14 M. (800-1300-an M.).
Pada masa ini para pedagang, perkumpulan dagang campuran Islam Timur Tengah dan
India-Hindusme, dari India Selatan yang dilindungi penguasa Chola menjadi
memonopoli kegiatan perdagangan di kawasan utara Sumatera. Meliputi kawasan
Barus atau Fansury (Labu Tua dan Bukit Hasang), Lamuri-Aceh, Samudera
Pasai-Aceh Utara, Pulau Kampai, Kota Rantang, Kota Cina, dan Benteng Putri
Hijau. Mereka membangun jaringan kota pelabuhan disepanjang pantai barat hingga
pantau timur di Sumatera bagian utara. Kota-kota
pelabuhan tersebut menjadi tempat menumpung ‘barang mentah’ hasil hutan baik floral (seperti getah harum barus dan kemenyan,
serta tumbuhan pewarna dan kayu) maupun fauna (seperti cula badak dan gading
gajah sumatera). Selain itu, sumatera yang kaya dengan emasnya menjadi tujuan
utama para pedagang tersebut. Letak
Sumatera melintasi Selat Malaka menjadi jalur utama pelayaran dari kawasan
Timur Tengah dan Asia Selatan menuju Kanton, Cina.
Temuan manik-manik di Pulau Kampai ditemuan ditemuan
bersama dengan kerak logam jenis besi dan benda-benda dari kaca. Gelang kaca
jenis ‘Chettyar’ hitam kehijauan salah satu temuan yang sering ditemukan dalam
keadaan fragmentaris berukuran kecil. Selain itu juga banyak fragmen kaca Timur
Tengah yang tipis dan banyak mengandung gelembung udara, sebagai akibat tehnik
pembuatan dengan tiup kaca terbuka. Kaca-kaca itu berwarna kekuningan, hijau,
dan biru. Bentuk kaca ini masih sulit diperkirakan, namun referensi dari Labu
Tua Barus menunjukkan fragmen seperti ini biasanya berupa botol berukuran
kecil, seperti bolol ‘farfun’ (Claude Guillot, BARUS Seribu Tahun yang Lalu,
KGB, Jakarta, 2008).
Temuan mangkuk-mangkuk keramik Cina menempati temuan
terbanyak di Pulau Kampai, hamper 75 % dari keseluruhan temuan yang diamati di
permukaan tanah. Jenis batuan seladon dengan warna glasir putih kebiruan dan
hiasan gores pola sisir berupa bunga salah satu jenis yang sering ditemukan. Selain itu juga ditemukan tempayan dengan glasir
coklat dan telinga kecil horizontal.
Temuan lain berupa tembikar dari Timur Tengah dengan
bahan yang bertekstur sangat halus dan rapuh serta mengandung temper (bahan campuran) tembikar yang
dihancurkan menjadi halus. Bahan berwarna krem hingga merah jampu pastel dan
kadang di cat dengan slep warna merah. Temuan tembikar dari Pulau Kampai berupa
fragmen sangat berukuran kecil. Namun berdasarkan referensi dari situs-situs
lain di Sumatera, terutama Labu Tua, Barus (Claude Guillot, 2008), dapat
diperkirakan bentuknya. Tembikar ini umumnya berbentuk kendi dengan cerat
kerucut yang lurus dan panjang, badan diperkirakan bulat telur atau oval,
sementara bagian bibir dan leher yang tinggi dengan hiasan cincin (ring).
Claude Guillot dan timnya melakukan
penelitian arkeologis di Labu Tua, Barus tahun 1995-2000 berkesimpulan, bahwa
kota-kota pelabuhan itu bersifat otonom terlepas dari pengaruh penguasa tunggal
di Sumatera waktu itu, Sriwijaya-Malayu. Kota-kota pelabuhan menyebutnya sebagai
republik kota pelabuhan yang diatur dengan system pemerintahan otokrasi dalam
suatu dewan yang terdiri dari para pedagang kaya. (Deddy Satria, Arkeolog Independen Aceh)