Pembangunan tambak pada masyarakat Batak Toba sudah dilakukan sejak lama sebelum masuk dan berkembangnya agama Kristen di daerah ini. Ditemukannya bangunan kubur batu (paromasan) sarkofagus, tempayan batu, kubus batu dan pahatan batu menjadi indikasi bahwa tradisi penguburan ini merupakan hasil budaya masyarakat pada masa megalitik yang berasal dari 3000 SM . Tradisi ini menerangkan kehidupan yang bersumber pada kepercayaan terhadap nenek moyang yang sampai sekarang pengaruhnya masih dirasakan di berbagai daerah khususnya Pulau Samosir
Sebelum mendapat pengaruh agama Kristen, orang Batak Toba percaya kekuatan roh leluhurnya. Adanya kepercayaan terhadap kekuatan roh leluhurnya atau nenek moyangnya menjadi dasar timbulnya aturan mengenai peraturan mayat dalam kematian serta upacara penguburannya. Roh leluhur yang mati terutama mate sarimatua dan mate saurmatua dipercaya dapat memajukan kesejahteraan, memberikan perlindungan dan memberikan rejeki yang melimpah kepada keturunannya, serta menjauhkan segala mara bahaya.
Secara umum orang Batak Toba melakukan dua kali penguburan untuk orang meninggal dalam keadaan mate sarimatua dan mate saumatua. Penguburan pertama (penguburan primer) langsung dilakukan setelah orang meninggal dengan mengubur di dalam tanah dengan menggunakan peti atau dalam intilah daerah disebut abal-abal. Penguburan kedua (penguburan sekunder) dilakukan setelah kurun waktu tertentu bisa tiga, sampai lima tahun atau lebih dengan melakukan penggalian tulang belulang neneknya yang dikubur untuk ”dinaikkan” ke bangunan yang lebih monumental (Batu napir, tambak na timbo). Pelaksanaan penggalian tulang belulang disertai dengan upacara adat yang disebut mangongkal holi.
Pada awalnya penguburan pertama (penguburan primer) dilakukan dengan penguburan jenasah ke dalam tanah. Sebagai tanda agar kuburan tidak hilang maka di atas kuburan tersebut ditanam pohon keras jenis hariara, jabi-jabi, baringin, bintatar. Ada juga kuburan jenis ini sekaligus berfungsi sebagai kuburan yang permanen, tulang belulangnya tidak digali lagi karena sudah menyatu dengan pohon yang sudah tumbuh besar. Peninggalan jenis kuburan seperti ini sampai sekarang masih banyak ditemui di lapangan.
Penguburan kedua (penguburan sekunder) dilakukan dengan membuat batu napir, tambak na timbo dari bahan batu alam sebagai tempat penguburan tulang belulang disebut batu sada bentuk sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, pahat batu. Hanya kaum bangsawan dan tokoh masyarakat yang dapat membuat batu sada atau sarkofagus, sebab untuk membuat sarkofagus diperlukan biaya yang sangat besar disertai dengan upacara-upacara adat, dan kegiatan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang tingkat sosial dan ekonominya tinggi.
Tradisi penguburan ini terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu, teknologi dan agama. Dikenalnya bahan semen yang diperoleh dengan mudah serta efektif, dan tahan lama menyebabkan pembangunan tambak semakin marak, dan bentuknya beragam, semakin indah dan megah. Hal ini juga disebabkan membangun tambak tidak lagi didominasi oleh kaum bangsawan, tetapi oleh siapa saja yang penting dari segi sosial ekonomi mampu membangun tambak bagi nenek moyangnya.
Pada umumnya bentuk dan struktur tambak pada era ini berhubungan dengan latar belakang sejarah nenek moyangnya atau leluhurnya. Pada bangunanya rata-rata masih memperlihatkan unsur-unsur tradisional, ditambah dengan atribut agama Kristen. Penguburan primer dan sekunder masih tetap dilakukan, perbedaannya penguburan primer (penguburan langsung) selain dikubur di dalam tanah, bisa dilakukan dengan memasukkan jenasah orang yang meninggal langsung ke dalam bangunan tambak modern. Letak jenasah umumnya di bagian dasar bangunan yang bentuknya kubus. Jenasah yang langsung dimasukkan ke dalam bangunan tambak modern kelak pada masa tertentu bisa tiga, empat, lima tahun atau lebih dilakukan pengangkatan tulang belulang untuk ”dinaikan” ke tingkat yang lebih tinggi dalam bangunan yang sama. Jika penguburan primer (penguburan langsung) dilakukan dengan mengubur jenasah di dalam tanah, umumnya di atas gundukan (lapisan tanah) di atas kuburan tersebut ditanam jenis pohon oppu-oppu berupa bunga bakung dan sere dan hatunggal yang fungsinya sebagai tanda aga tidak hilang.
Secara umum orang Batak Toba melakukan dua kali penguburan untuk orang meninggal dalam keadaan mate sarimatua dan mate saumatua. Penguburan pertama (penguburan primer) langsung dilakukan setelah orang meninggal dengan mengubur di dalam tanah dengan menggunakan peti atau dalam intilah daerah disebut abal-abal. Penguburan kedua (penguburan sekunder) dilakukan setelah kurun waktu tertentu bisa tiga, sampai lima tahun atau lebih dengan melakukan penggalian tulang belulang neneknya yang dikubur untuk ”dinaikkan” ke bangunan yang lebih monumental (Batu napir, tambak na timbo). Pelaksanaan penggalian tulang belulang disertai dengan upacara adat yang disebut mangongkal holi.
Pada awalnya penguburan pertama (penguburan primer) dilakukan dengan penguburan jenasah ke dalam tanah. Sebagai tanda agar kuburan tidak hilang maka di atas kuburan tersebut ditanam pohon keras jenis hariara, jabi-jabi, baringin, bintatar. Ada juga kuburan jenis ini sekaligus berfungsi sebagai kuburan yang permanen, tulang belulangnya tidak digali lagi karena sudah menyatu dengan pohon yang sudah tumbuh besar. Peninggalan jenis kuburan seperti ini sampai sekarang masih banyak ditemui di lapangan.
Penguburan kedua (penguburan sekunder) dilakukan dengan membuat batu napir, tambak na timbo dari bahan batu alam sebagai tempat penguburan tulang belulang disebut batu sada bentuk sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, pahat batu. Hanya kaum bangsawan dan tokoh masyarakat yang dapat membuat batu sada atau sarkofagus, sebab untuk membuat sarkofagus diperlukan biaya yang sangat besar disertai dengan upacara-upacara adat, dan kegiatan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang tingkat sosial dan ekonominya tinggi.
Tradisi penguburan ini terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu, teknologi dan agama. Dikenalnya bahan semen yang diperoleh dengan mudah serta efektif, dan tahan lama menyebabkan pembangunan tambak semakin marak, dan bentuknya beragam, semakin indah dan megah. Hal ini juga disebabkan membangun tambak tidak lagi didominasi oleh kaum bangsawan, tetapi oleh siapa saja yang penting dari segi sosial ekonomi mampu membangun tambak bagi nenek moyangnya.
Pada umumnya bentuk dan struktur tambak pada era ini berhubungan dengan latar belakang sejarah nenek moyangnya atau leluhurnya. Pada bangunanya rata-rata masih memperlihatkan unsur-unsur tradisional, ditambah dengan atribut agama Kristen. Penguburan primer dan sekunder masih tetap dilakukan, perbedaannya penguburan primer (penguburan langsung) selain dikubur di dalam tanah, bisa dilakukan dengan memasukkan jenasah orang yang meninggal langsung ke dalam bangunan tambak modern. Letak jenasah umumnya di bagian dasar bangunan yang bentuknya kubus. Jenasah yang langsung dimasukkan ke dalam bangunan tambak modern kelak pada masa tertentu bisa tiga, empat, lima tahun atau lebih dilakukan pengangkatan tulang belulang untuk ”dinaikan” ke tingkat yang lebih tinggi dalam bangunan yang sama. Jika penguburan primer (penguburan langsung) dilakukan dengan mengubur jenasah di dalam tanah, umumnya di atas gundukan (lapisan tanah) di atas kuburan tersebut ditanam jenis pohon oppu-oppu berupa bunga bakung dan sere dan hatunggal yang fungsinya sebagai tanda aga tidak hilang.
Makna Tambak Pada masyarakat Batak Toba
Telah diuraikan di muka bahwa makna tambak pada masyarakat Batak Toba disesuaikan dengan makna, fungsi dan tujuannya. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa tambak tercipta dari hasil ide, gagasan yang terdapat dalam alam pikiran mereka, dan hasil aktifitas perbuatan atau hasil karya manusia. Oleh sebab itu tambak sebagai budaya materi merupakan hasil ide, gagasan dan aktifitas serta karya orang Batak Toba, mempunyai arti dan fungsi yang penting dalam kehidupan sebagian orang Batak Toba terutama dalam hubungannya dengan sistem kepercayaan. Melalui interpretasi terhadap atribut fisik yang terdapat pada bangunan tambak dan dihubungkan dengan sistem kepercayaan, lingkungan, dan sosial budaya masyarakat pendukungnya maka akan dapat diungkapkan arti simbolik dan fungsi sosial.