INVENTARISASI KEPURBAKALAAN ISLAM DI SUMATERA UTARA
I. Sekilas sejarah awal Islamisasi Sumatera Utara
Terdapat 3 (tiga) masalah pokok tentang Islamisasi kawasan Nusantara pada umumnya, yakni: waktu kedatangannya (when), tempat asal kedatangan Islam (where), dan para pembawanya (who). Sejumlah sarjana, kebanyakan berkebangsaan Belanda, memegang teori bahwa asal Islam di Nusantara adalah India. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapel, yang mengemukakan antara lain bahwa orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang menetap di Gujarat dan Malabar adalah para pembawa Islam ke Nusantara.[1] Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan antara lain bahwa kaum muslim dari India selatan (sebagian besar pedagang perantara Timur Tengah dengan Nusantara), berperan besar dalam Islamisasi kawasan Nusantara.[2] Lebih lanjut dia mengemukakan setidaknya abad ke-12 M adalah masa awal penyebaran Islam di Nusantara.
Moquette, sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam Nusantara adalah Gujarat.[3] Dia mendasarkan pendapatnya pada temuan nisan dari Pasai yang bertarikh 831 H/ 1428 M. Nisan dari Pasai ini ternyata mirip dengan yang ditemukan di Gresik yang bertarikh 822 H/1419 M. Ditinjau morfologinya kedua nisan kuna dari Nusantara itu ternyata berasal dari Cambay di Gujarat, India. Berdasarkan nisan-nisan itulah Moquette lebih lanjut menyatakan bahwa Islam di Nusantara tentu juga berasal dari kawasan Gujarat, India.
Teori tentang Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara memang masih menimbulkan perdebatan. Salah satu penentangnya adalah Marrison. Ia berpendapat meski batu-batu nisan yang ditemukan di sejumlah tempat di Nusantara berasal dari Gujarat, itu tidak lantas berarti Islam juga berasal dari sana. Marrison mematahkan teori Gujarat sebagai asal Islam Nusantara, dengan merujuk pada data sejarah bahwa ketika raja pertama Islam Samudera Pasai wafat pada 1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Meskipun sejak tahun 1024 M, lalu 1178 M, dan 1197 M, namun baru pada tahun1298 M, Gujarat yang Hindu ditaklukkan oleh kekuasaan Islam. Jadi, tidak mungkin suatu entitas politik yang masih didominasi oleh kekuasaan nonmuslim akan menyebarkan Islam yang pada kenyataannya mengancam eksistensi entitas politik mereka (kerajaan Gujarat Hindu) sejak tahun 1024 M. Mempertimbangkan fakta historis tersebut akhirnya Marrison berteori bahwa Islam di Nusantara berasal dari kawasan pantai Coromandel pada akhir abad ke-13 M. Hal itu juga didukung oleh kenyataan bahwa muslim di kedua tempat itu (Coromandel dan Nusantara) mayoritas adalah pengikut mazhab Syafi’i.
Selain kawasan Coromandel, Malabar, dan Gujarat (ketiganya di India), kawasan Arabia menurut Arnold juga merupakan tempat asal Islam di Nusantara.[4] Dalam pandangannya, para pedagang dari Arabia adalah penyebar Islam pertama ke kawasan Nusantara. Hal itu terjadi ketika para pedagang dari Arabia mendominasi perdagangan Barat—Timur sejak abad pertama tahun Hijriah (abad ke-7 M). Indikasi kehadiran para pedagang Arabia ke Nusantara didapat dari kitab ‘Ajaib Al-Hind karya Buzurg ibn Syahriar Al-Ramhurmuzi (ditulis sekitar 390 H/1000 M) yang mengisyaratkan keberadaan komunitas muslim di wilayah kerajaan Zabaj/Zabag (sebutan Sriwijaya dalam sumber-sumber Arab & Persia).
Indikasi lebih awal dibanding sumber dari Ibn Syahriar tersebut adalah berita dari Al Jahizh, seorang ‘Amr Al-Bahr/Admiral (163—255 H/ 783—869) yang dimuat dalam karyanya yang berjudul Kitab Al-Hayawan. Al-Jahizh mengetahui keberadaan surat dari Maharaja Hind (penyebutan bagi Maharaja Sriwijaya) dari ‘Abu Ya’qub Al-Tsaqafi, yang mendengar keberadaannya dari ‘Abd Al-Malik ibn ‘Umayr (653—753 M) yang melihat sendiri keberadaan surat itu pada kantor diwan (sekretaris) khalifah Mu’awiyah ibn Abu Sofyan setelah beliau wafat. Sumber tertulis Arab berikutnya didapat dari catatan ‘Ibn ‘Abd Al-Rabbih (860—940 M) dalam karyanya yang berjudul Al-‘Iqd Al-Farid yang berisi antara lain sepucuk surat dari Maharaja Hind kepada Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd Al-Aziz (717—720 M). Dalam surat tersebut Maharaja Hind antara lain menyebutkan kerajaannya serta kekayaan alam yang dimilikinya antara lain yang berupa gaharu, rempah-rempah, pala, dan kapur barus. Bukti tertulis lainnya diperoleh dari pendeta Buddha dari Cina yang bernama I-Tsing (671 M). Disebutkan olehnya di San-bo-tsai (Sriwijaya) bermukim orang-orang Ta-Shih, yang tidak lain adalah penyebutan bagi orang-orang Arab atau Persia.
Secara tidak langsung satu sumber Arab juga menyebutkan adanya kontak antara Siraf (satu pelabuhan di Teluk Persia) dengan daerah penghasil kamper/kapur barus.
Penyebutan kamper/kapur barus sebagai salah satu barang dagangan pada toko-toko di Siraf merupakan sumber tertulis yang dapat dijadikan acuan bahwa antara Barus (kota kuno di pantai barat Sumatera Utara) dengan Siraf memang ada kontak dagang.
Untuk kawasan pantai timur Sumatera Utara yang letaknya berhadapan dengan jalur strategis Selat Malaka, data tentang kehadiran Islam di daerah ini terutama merujuk pada sumber-sumber tertulis Cina tentang keberadaan kerajaan Aru.
Berdasarkan sumber-sumber Cina tersebut diketahui bahwa Aru adalah suatu kerajaan yang raja maupun rakyatnya adalah muslim. Jadi sejak sebelum kedatangan armada Cheng Ho ke kawasan Selat Malaka di awal abad ke-15 M, Aru sudah Islam.
II. Kabupaten Tapanuli Tengah
1. Kompleks Makam Raja Sorkam (01 54’ 21,2” LU dan 098 35’ 25,4” BT)
Makam Raja Sorkam berada di atas punggung bukit dengan banyak makam kuno dan batu nisan kuno. Makam-makam kuno tersebut ditata dalam baris-baris, namun sekarang tidak teratur seperti dulu lagi. Batu nisan kuno dari pemakaman keluarga Raja Sorkam memiliki perancangan bentuk yang serupa dengan batu nisan dari kawasan Barus. Hal tersebut dapat diamati dengan teliti dari ciri bentuk, jenis motif hias serta pola hias dan gaya pahat. Namun demikian, ada pula batu nisan dengan rancangan bentuk serupa dengan batu nisan dari Barus, hanya saja gaya pahat sama sekali berlainan. Sebagai contoh batu nisan dengan rancangan bentuk bagian kepala batu nisan lingkaran dan bagian tubuh batu nisan berupa persegi empat trapesium. sama dengan batu nisan makam kesamaan dalam
Kaligrafi Arab pada batu nisan kuno dipemakaman keluarga Raja Sorkam memiliki keunikan tersendiri, dan jarang ditemukan perbandingannya. Gaya penulisan menggunakan khat naskhi yang dirancang cukup berani oleh para kaligrafernya. Huruf melengkungnya kadang dibentuk dengan lengkung yang sangat lebar dan terkesan berlebihan. Sementara garis-garis vertikalnya dibuat pendek. Gaya penulisan khat naskhi serupa ini biasa digunakan untuk menuliskan teks pada surat atau buku. Inskripsi ditulis menggunakan huruf Arab-Melayu dan berbahasa Melayu. Bahasa Melayu yang digunakan dalam inskripsi menggunakan gaya bahasa yang sangat khas, kadang sulit dipahami. Sebagai contoh, inskripsi yang dipahatkan pada batu nisan makam Raja Sorkam Seri Datuk Raja Amir dan Seri Datuk Raja Amin.
a. Makam Raja Sorkam, Seri Datuk Raja Amat
Makam raja ini diberi tanda pada bagian kaki dan kepalanya dengan sepasang batu nisan kuno yang serupa dengan batu nisan kuno dari Barus. Batu nisan dibentuk dari papan batu/pipih dengan bagian kepala batu nisan berbentuk lingkaran dan bagian kaki batu nisan berbentuk persegi empat trapesium.
Satu-satunya motif hias yang menjadi penghias batu nisan yaitu kaligrafi Arab. Kaligrafi Arab sebagai teks epitap dipahatkan pada sisi selatan batu nisan penanda kepala makam. Sementara sisi yang lain dibiarkan polos, begitu pula dengan batu nisan penanda bagian kaki makam. Kaligrafi Arab dipahatkan dengan teknik timbul dan menggunakan ukuran huruf yang cukup besar. Teks epitap dipahatkan pada sisi selatan batu nisan penanda bagian kepala makam. Teks ditata sedemikian rupa dalam dua (2) bidang panil/bingkai sesuai dengan rancangan bentuk batu nisan. Inskripsi pertama dipahatkan pada bagian kepala batu nisan dalam panil/bingkai lingkaran. Inskripsi dibagi dalam tiga baris. Sedangkan inskripsi kedua dipahatkan dalam 10 baris pada panil/ bingkai persegi empat trapesium.
Batu nisan ini mengandung inskripsi yang menjelaskan bahwa yang dimakamkan ialah seorang Raja Sorkam bernama Seri Datuk Raja Amat. Batu nisan ini mengandung keterangan waktu yang sangat rinci, dari jam, hari, dan tahun. Yaitu, Kamis, jam sembilan tanggal 9 Rabiul awal 1269 H. (1754 M.). Salah satu rancangan bentuk kaligrafi arab yang sangat menarik pada teks ini yaitu racangan kata ‘ta’ala’. Kaligrafer dan sang pemahat dengan kreatifnya membentuk kata ta’ala menjadi gambar seperti perahu yang didalamnya bertuliskan kalimat ‘ilaha Allah illa Allah’, ‘Allahlah tuhan, hanya Allah’.
b. Makam Raja Sorkam, Seri Datuk Raja Amin
Makam raja ini berada di sisi barat makam Seri Datuk Raja Amir. Rancangan batu nisan juga serupa, baik dari bentuk batu nisan hingga cara menata kaligrafi Arab. Namun gaya penulisan atau pahatan kaligrafi Arab memiliki perbedaan, termasuk isi teks epitap dengan susunan kata-kata yang berbeda.
Penataan teks epitap serupa dengan batu nisan makam Seri Datuk Raja Amat, namun isi teks pada batu nisan makam Seri Datuk Raja Amin lebih panjang. Beberapa bagian kata dalam kalimat sulit untuk dibaca, karena si pemahat batu nisan kurang berhati-hati saat menuliskan atau memahatkannya. Akibatnya ada huruf yang tidak ditulis atau dipahatkan.
c. Batu nisan berangka tahun 1236 (1787 M.)
Batu nisan berangka tahun ini mempunyai rancangan bentuk pilar/balok bersisi delapan octagonal dengan mahkota berupa bunga teratai yang digayakan. Setiap sisi dipahatkan panil/bingkai persegi panjang secara vertikal dan di dalamnya dipahatkan kaligrafi Arab. Gaya penulisan kaligrafi menggunakan khat naskhi dengan potongan huruf yang relative rapid an garis yang tegas. Teks epitaph dibaca mulai dari sisi selatan batu nisan kepala ke arah timur, atau dibaca berlawanan arah jarum jam.
d. Batu nisan Samida Muda binti Silu Barani berangka tahun 1303 H. (1885 M.)
Makam ini menggunakan batu nisan berbentuk pipih yang dipotong dari papan batu. Rancangan bentuk batu nisan mempunyai kesamaan dengan batu nisan dari Barus, yaitu bentuk batu nisan dengan bagian kepala yang melengkung dengan lengkung-lengkung kecil. Namun gaya pahatnya berbeda. Batu nisan dirancang dengan motif hias bertemakan tetumbuhan, terutama bentuk bebungaan, dan dipahat timbul yang cukup dalam. Bagian sisi utara batu nisan kususnya, motif hias dipahatkan dari bagian kepala batu nisan, tubuh, hingga bagian kaki. Sementara bagian sisi selatan batu nisan hanya bagian tubuh batu nisan saja yang dipahatka kaligrafi Arab.
Teks epitaph menggunakan gaya penulisan atau khat naskhi dengan aksara Arab-Melayu dan menggunakan bahasa Melayu. Teks epitaph sebagai inskripsi dipahatkan pada panil/bingkai persegi empat trapezium. Huruf yang digunakan berukuran kecil dan dipahat timbul. Baris pertama dipahatkan kalimat, ‘seorang mala’ atau seorang yang ditimpa musibah. Namun karena kondisi teks epitaph yang aus dan patah/hilang sulit dibaca. Tokoh ini bernama Samida Muda binti (anak perempuan) Barata Silu Barani dan meninggal pada 29 Muharram 1303 H. atau tahun 1885 M. Angka tahun dipahat dengan angka yang berukuran lebih besar dari ukuran huruf. Dan yang lebih menariknya lagi, si pemahat batu nisan membubuhkan sentuhan keindahan dengan menambahkan dua bunga besar berkelopak empat mengapit angka tahun. Pemahat batu nisan bukanlah seorang ahli kaligrafi, namun punya bakat dalam merancang motif hias.
e. Batu nisan makam ‘Ali Sahmir
Batu nisan makam ‘Ali Sahmir inskripsi pada sisi dan selatan batu nisan penanda bagian kepala makam. Inskripsi tersebut dipahat dengan gaya penulisan naskhi dan kalimatnya masing-masing disusun dalam empat dan tiga baris. Tokoh wafat tahun 1261 Hijjriah atau 1812 M.
2. Makam Tompat (01 53’ 29,5” LU dan 098 34’ 59,6” BT)
Secara administratif berada di Desa Sorkam, Kecamatan Sorkam Kanan, Kabupaten Tapanuli Tengah, tepat di tepi barat Sungai Aek Sibundang. Keberadaan nisan-nisan di situs yang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Makam Tompat ini, berkaitan dengan keberadaan bekas perkampungan lama Sorkam, sebelum dipindah ke lokasi yang dikenal sebagai Desa Sorkam saat ini. Sehingga dapat dikatakan kompleks permakaman ini adalah makam dari suatu perkampungan lama. Lingkungan makam ini ditutupi semak belukar dan beragam pepohonan, antara lain cokelat/kakao, durian, duku, dan lain-lain.
Nisan-nisan penanda kubur di kompleks makam ini didominasi oleh nisan batu alam yang tidak dibentuk. Tidak lebih dari 3 pasang nisan yang dibentuk dari batu alam yang telah mengalami pengerjaan. Bentuk-bentuk dimaksud adalah: nisan silindrik berdiameter 8 cm, setinggi 22 cm, dengan puncaknya menyerupai kuntum bunga; nisan pipih yang bentuknya menyerupai nisan-nisan pipih yang puncaknya berbentuk lingkaran seperti yang terdapat di kompleks makam Raja Sorkam dan beberapa kompleks makam di Barus; dan nisan pipih yang bagian puncaknya berterap-terap. Seluruh batu nisan tersebut baik yang telah dibentuk maupun alami tidak berinskripsi.
3. Tuan Makhdum (02 01’ 27,7” LU dan 098 25 03,2” BT)
Pemakaman berlokasi di kaki bukit yang landai. Rancangan bentuk batu nisan sama dengan batu nisan dari Makam Mahligai. Motif hias bertemakan tali dan simpul temali lebih sering sering dipahatkan pada batu nisan, bila dibandingkan dengan batu nisan dari tempat pemakaman lain di kawasan Barus. Motif hias ini seakan-akan menjadi semacam lambang identitas orang-orang yang dimakamkan di pemakaman ini.
4. Makam Ibrahimsyah (02 01’ 38,5” LU dan 098 25’ 00,7”)
Pemakaman berada di dataran rendah, namun tanah pemakamannya sengaja ditinggikan membentuk teras tanah berdenah persegi panjang. Sementara makam ditata berbaris dari timur hingga barat teras. Ini merupakan elemen makam yang jarang ditemukan di kawasan Barus. Bentuk pemakaman berteras tanah serupa ini sering ditemukan di Aceh.
Selain itu, makam-makam di pemakaman Ibrahim Syah umumnya dilengkapi dengan elemen makam berupa jirat, batu yang menutupi permukaan makam. Rancangan bentuk batu nisan di sini sangat khas. Bentuk batu nisan menyerupakan ‘fas’ dan di atasnya dipahatkan motif hias bunga. Lalu vas bunga itu diberi alas bermotif hias bebungaan. Bagian tubuh batu nisan menyerupai vas kadang diberi kontur garis vertical dan hasil potongannya lebih tinggi. Inskripsi berupa kaligrafi Arab dipahat pada bidang berbentuk vas.
Salah satu makam dengan batu nisan jenis tersebut memuat nama tokoh dan keterangan angka tahun kematian yaitu batu nisan makam Ummi Suy.
Bentuk batu nisan lainnya berupa potongan papan batu atau pipih dengan bagian atasnya melengkung, seperti bentuk lunas kapal atau lengkung gaya Persia. Bentuk batu nisan jenis ini hampir ditemukan di seluruh pemakaman kuno di kawasan Barus, selain Makam Papan Tinggi. Pada bagian tengah batu nisan, kadang, dipahatkan panil/bingkai lingkaran atau medalion. Pada bidangnya dipahatkan kaligrafi Arab atau dibiarkan kosong. Salah satu batu nisan di pemakaman Ibrahim Syah dengan jenis ini memuat teks epitaph pada panil lingkaran dengan rancangan huruf vertical yang saling bertumpang tindih membentuk anyaman. Inskripsi yang dipahatkan yaitu, ‘ya Allah, ya Muhammad’.
Sementara pada bidang di atas panil medallion dituliskan pula teks epitaph, namun tidak dipahat seperti biasanya. Inskripsi ditulis dengan menggunakan zat pewarna hitam, seperti getah rupanya. Banyak batu nisan di kawasan Barus yang ditemukan menggunakan cara demikian dalam penulisan teks epitaph. Munkin saja ini sebagai bentuk pola yang dibuat oleh pemahat batu nisan dalam pengerjaan menghias batu nisan, karena beberapa hasil pahatan menyisakan jejak pekerjaan seperti itu.
5. Makam Tuan Ambar (02 01’ 52,9” LU dan 098 24’ 56,3” BT)
Pemakaman berlokasi di dataran rendah. Banyak makam kuno ditemukan di pemakaman ini. Makam-makam itu ditata dalam dua atau tiga baris. Bentuk batu nisan kuno sebagai penanda makam serupa dengan batu nisan dari Makam Mahligai. Hanya saja variasinya lebih sedikit. Bentuk batu nisan dari Makam Tuan Ambar umumnya jenis batu nisan yang dirancang dari potongan papan batu yang pipih. Namun mempunyai bentuk bagian kepala yang bervariasi, lingkaran, lingkaran yang digayakan dengan motif hias bertema bunga teratai, lengkung Persia, dan bagian kepala yang di bentuk dari lengkung-lengkung kecil.
Motif hias yang dipahatkan juga berfariasi, seperti motif hias dengan tema tetumbuhan, bunga teratai, bentuk miniature arsitektural berupa ‘pintu dengan lengkung bergaya Persia’, pola anyaman, dan bentuk geometric.
Beberapa variasi bentuk batu nisan dari Makam Tuan Ambar dalam bentuk rubbing. (a) Batu nisan pipih dengan mahkota berupa bunga teratai. (b) Batu nisan pipih dengan inskripsi kaligrafi Arab dalam panil/bingkai lingkaran yang dihias dengan morif tetumbuhan. (c) Batu nisan pipih dengan bagian kepala menggunakan lengkung Persia dan motif hias dipahatkan menyerupakan bentuk ‘stupa’ atau kubah. Inskripsi dipahat dalam panil/kolom berupa kolom vertical dan kolong miring.
Salah satu batu nisan dari Makam Tuan Ambar memuat inskripsi dalam keligrafi Arab menggunakan gaya penulisan tsulust ornamental. Teks epitaph dipahatkan pada bagian kepala batu nisan berbentuk lingkaran dengan panil/bingkai dibagi dalam dua kolom.
6. Makam Papan Tinggi (02 02’ 18,2” LU dan 098 25’ 10,5” BT)
Lokasi pemakaman berada di puncak bukit dengan ketinggian lebih dari 200 m dari permukaan laut. Pemakaman ini terdiri dari enam makam. Lima makam diberi tanda batu nisan tidak berukir, dari batu alam, dan sebuah makam dengan penanda batu nisan berkir. Bentuk batu nisan menggunakan jenis batuan granit putih berbintik hitam dan menunjukkan ciri batu nisan Barus. Batu nisan penanda kepala makam berbentuk pipih dengan bagian kepala berupa lingkaran. Sementara batu nisan penanda kaki makam berbentuk pipih dengan bagian kepala dipakat bergelombang.
7. Makam Silalahi (02 04’ 18,4” LU dan 098 25’ 36,6” BT)
Makam keluarga raja ini menggunakan penanda pada bagian kaki dan kepala berupa batu nisan. Perancangan bentuk batu nisan cukup beragam, namun dapat dikelompokkan menjadi dua (2) kelompok bentuk dasar. Pertama batu nisan dari potongan balok batu serupa pilar/tiang dengan sisi persegi delapan. Kedua batu nisan dari potongan papan batu/pipi dengan elemen serupa ‘sayap kecil’ pada bagian bahu dan bagian kepala yang bertingkat-tingkat dan tinggi.
Batu nisan kuno ini tidak mengandung inskripsi, namun dihias dengan motif hias dari beragam pola bertemakan tetumbuhan. Rancangan bentuk dan penataan motif hias mengikuti aturan simetris yang seimbang dan menggunakan bentuk-bentuk dasar geometric, seperti persegi empat, segi tiga, dan perpaduan dari bentuk geometris. Perancangan bentuk batu nisan serupa ini juga berlaku pada batu nisan di tempat lain.
Hasil rubbing beberapa batu nisan dari Makam Raja Silalahi. (a) Batu nisan berbentuk pipih/papan batu dan rancangan bentuk bagian bahu bersayap kecil dan bagian atas batu nisan bertingkat. Rubbing (b,c, dan d) motif hias pada batu nisan berbentuk pilar/balok bersisi delapan atau octagonal. Hasil rubbing ini menunjukkan satu sisi dari batu nisan
8. Makam Mahligai (02 02’ 48,1” LU dan 098 24’ 10,9” BT)
Pemakaman berlokasi di punggung bukit dengan leleng yang curan dan berada pada ketinggian hampir 300 m dari permukaan laut. Punggung bukit tersebut sengaja dipilih sebagai lokasi pemakaman dengan suatu penataan yang terencana yang baik. Ada makam yang berada persis di punggung bukit dan ada pula di kaki punggung bukit yang telah diratakan terlebih dahulu. Di sini ditemukan cukup banyak makam kuno dangan batu nisan kuno pula. Makam-makam itu ditata dalam kelompok-kelompok makam. Setiap kelompok makam terdiri dari beberapa makam yang saling berdekatan, antara dua hingga belasan makam. Dalam setiap kelompok makam, antara satu makam dengan makam lainnya, disusun berderetan dalam baris yang memanjang dari timur ke barat.
Bentuk batu nisan di Makam Mahligai cukup bervariasi dan ditemukan pula di makam-makam Barus yang lain. Variasi bentuk batu nisan yang diamati dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu;
a. Bentuk batu nisan berupa pilar/tiang bersisi delapan atau octagonal dengan tema motis hias utama bunga teratai, bebungaan, dan kaligrafi Arab. Batu nisan jenis ini mempunyai mahkota bunga teratai.
b. Bentuk batu nisan pilar/tiang silinder dengan bagian puncak atau mahkotanya bunga teratai, dan sering telah digayakan. Batu nisan jenis ini sering kali polos, kecuali bentuk mahkota teratai, namun ada beberapa diantaranya yang di hias dengan motif hias yang dipahat membentuk kerawang bertema tetumbuhan yang dirancang dan dikombinasikan dengan motif geometric.
c. Bentuk batu nisan berupa pipih seperti papan batu dengan bagian atas dipotong dengan lengkung-lengkung kecil, memberi kesan bergerigi. Motif hias yang dipahatkan mengunakan tema tetumbuhan dan bunga teratai.
d. Bentuk batu nisan lainnya berupa potongan papan batu atau pipih dengan bagian atasnya melengkung, seperti bentuk lunas kapal atau lengkung gaya Persia. Motif hias bertema tetumbuhan dan bebungaan dipahat dengan rancangan tertentu, serta panil/bingkai dengan bentuk mengikuti bentuk potongan batu nisan. Beberapa batu nisan jenis ini dipahatkan inskripsi dalam kaligrafi Arab.
e. Bentuk batu nisan dengan potongan batu pipih/papan batu dengan bagian kepala batu nisan bulat atau berupa lingkaran dengan atau tanpa mahkota bunga teratai. Bidang lingkaran ini biasanya diisi dengan pahatan motif hias dan dan kaligrafi. Sedangkan bagian badan batu nisan berbentuk persegi empat sama sisi atau persegi panjang secara vertikal. Kedua bagian itu dihubungkan dengan pahatan dalam bertemakan tetumbuhan, seperti bunga teratai.
f. Bentuk batu nisan dengan potongan batu pipih/papan batu dengan bagian kepala batu nisan berupa mahkota bunga teratai. Sementara bagian badan persegi empat. Kedua bidang ini dihubungkan dengan bagian yang biasa berupa pahatan bunga teratai.
g. Batu nisan dari batu alami dan tidak tidak dipahat. Batu alam yang digunakan sebagai penanda bagian kepala dan kaki dipilih dari batu berbentuk silinder atau bulat pipih.
Bentuk batu nisan berupa pilar/tiang bersisi delapan atau octagonal merupakan pentuk yang sangat khas dari Makam Mahligai. Ciri khas batu nisan dapat diamati dari elemen-elemen hiasnya. Terutama tema motis hias utama bunga teratai, bebungaan, panil/bingkai vertical di setiap sisinya, dangan atau tanpa kaligrafi Arab sebagai inskripsi serta bentuk mahkota bunga teratai yang digayakan. Bentuk batu nisan seakan-akan menjadi semacam identitas orang-orang yang dimakamkan di pemakaman ini.
Batu nisan di Makam Mahligai umumnya dibuat sederhana dengan sedikit pahatan motif hias. Jarang ditemukan penyelesaian akhir batu nisan dengan pahatan di setiap sisinya. Walaupun ada, hanya pada sisi tertentu saja, terutama sisi selatan pada batu nisan penanda kepala makam dan sisi utara batu nisan penanda bagian kaki makam. Pahatan kaligarafi Arab sebagai teks epitaph hanya ditemukan pada batu nisan tertentu.
Gaya penulisan dan pahatan kaligrafi Arab pada batu nisan menggunakan khat naskhi dan tsulust. Khat tsulust yang dipahatkan pada batu nisan dari kawasan Barus sangat khas. Garis-garis vertical kadang dipahatkan miring ke kiri dengan ujung-ujung yang lebih lebar dan potongan tajam. Bahkan ada beberapa rancangan kaligrafi dengan garis vertical dan horizontalnya dipahat secara tumpang tindih menyerupakan suatu anyaman.
Kaligrafi Arab sebagai inskripsi dipahat dalam panil/bingkai yang bentuknya bervariasi. Bentuk lingkaran dengan atau tanpa garis pembatas kolom, pesegi empat dengan atau tanpa garis pembatas kolom, bentuk lingkaran dengan atau tanpa pembatas kolom. Panil/bingkai tersebut kadang ditambahkan hiasan pada sisi-sisinya dengan motif hias tetumbuhan, seumpama daun-daun atau bunga.
Motif hias yang dipahatkan juga cukup bervariasi dalam menggunakan tema. Seperti motif hias dengan tema tetumbuhan, baik yang digambarkan secara natural atau digayakan berupa daun atau bunga dengan tangkai yang saling melilit satu dengan lainnya sehingga membentuk pola ayaman atau bentuk temali dan simpul tali. Pahat bunga teratai merupakan tema motif hias yang sangat digemari. Motif hias lain bentuk miniature arsitektural berupa ‘pintu dengan lengkung bergaya Persia’, terutama pada batu nisan dengan bagian kepala menggunakan lengkung bergaya Persia. Motif hias miniature pintu dengan pahatan isi lampu gantung atau kande, seperti yang sering ditemukan pada batu nisan tipa Aceh atau ‘Batu Aceh’. Seperta pola anyaman dan kombinasi dari bentuk-bentuk geometric. Sering ditemukan batu nisan yang belum selesai pengerjaan akhirnya, baik motif hias maupun kaligrafinya.
9. Makam Tuan Tombang (02 02’ 12,4” LU dan 098 22’ 09,7” BT)
Lokasi: Desa Lobu Tua, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah. Makam hanya terdiri dari nisan yang terbuat dari andesit. Tampaknya makam dikeramatkan, terlihat dari sesajian yang diletakkan di depan nisan.
10. Lobu Tua (02 02’ 19,9” LU dan 098 22’ 11,2” BT)
III. Kabupaten Tapanuli Selatan
1. Masjid Sipirok
Terletak di kampung Bagas Nagodang, di tepi jalan raya Tarutung--Padang Sidimpuan, pada sebidang tanah berpagar tembok yang dikelilingi jalan beraspal di bagian baratlaut Kota Sipirok. Sebelum memasuki masjid harus melalui gapura yang memuat pertulisan Arab dan Latin pada ambangnya: Masjid Raya Sri Alam Dunia Sipirok Mashalih Didirikan 16-7-1926 Dimasuki 6-7-1933. Bangunan seluas 550 m2 ini berdenah segi empat dengan tonjolan persegi masing-masing di sisi tenggara dan baratlaut.
Pada dinding teras masjid tergantung sebilah papan bercat putih dengan pertulisan dalam huruf Arab dan Latin: Mesdjid Sri ‘Alam Dunia Sipirok Mashalih Didirikan tgl. 16.7.’26 Dimasuki tgl. 6.7.’33. Menurut keterangan warga sekitar masjid, pertulisan sejenis pada gapura memang dibuat belakangan mengacu paca pertulisan kedua yang terdapat di dinding depan atas teras.
Sebelum masuk ruang utama, serambi harus dilalui terlebih dahulu. Pintu masuk utama yang ambangnya berbentuk lengkung cukup tinggi. Unit utama masjid ini denahnya segi empat berukuran 22 m x 21 m. Pencahayaan ruang utama ini diperoleh dari jendela-jendela besar dan tinggi yang bentuknya lengkung. Komponen penyusun utama bangunan ini adalah bata dan semen untuk konstruksi dinding dan pilar-pilarnya. Sementara untuk konstruksi atap dan tiang-tiang penopang bagian atas bangunan dipilih material kayu sebagai penyusunnya.
Pada sisi baratlaut unit utama masjid terdapat tonjolan mihrab berdenah persegi panjang berukuran 6 m x 5 m, yang dilengkapi dengan menara. Bagian ini terbagi menjadi 3 ruang yakni, ruang tengah adalah mihrab yang dilengkapi mimbar, di kiri-kanannya adalah ruang-ruang untuk penyimpanan barang. Sementara pada dinding timurlaut terdapat tangga kayu menuju ke lantai atas dan menara. Di lantai atas masih tersimpan satu ogung (gong) berdiameter maksimal 80 cm dengan tinggi 20 cm. Bidang pukul ogung berdiameter 15 cm dengan tinggi 6 cm. Dari loteng yang terletak di atas ruang utama, terdapat tangga kayu untuk menuju ke bagian yang lebih tinggi, yakni menara masjid. Di lokasi ini terdapat satu kentongan kayu yang tergantung dekat pintu menuju selasar menara. Selasar berdinding kaca tersebut mengelilingi badan menara dan dari lokasi ini dapat dilihat hampir seluruh penjuru Sipirok.[9]
2. Makam, Mesjid, dan Rumah Suluk Syekh Muhammad Kadir Pulungan dan anggota keluarganya (01 29’ 15,4” LU dan 099 03’ 35,7” BT)
Di Desa ini terdapat beberapa tinggalan masa lalu yang dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya diantaranya adalah: Makam Syekh Muhammad Kadir Pulungan dan anggota keluarganya, Mesjid Syekh Muhammad Kadir Pulungan, Rumah Syekh Muhammad Kadir Pulungan (kini difungsikan pula sebagai kantor Desa Napa), dan rumah suluk (tempat berdoa dan bermunajat kaum tasawuf). Bangunan masjid berdenah persegi panjang berukuran 12 m x 11 m. Makam paling barat berukuran 3,3 m x 1,8 m; makam kedua berukuran 2,17 m x 1,2 m; dan makam ketiga berukuran 2,17 m x 1,2 m. Bangunan persulukan berukuran 6 m x 4 m setinggi 6 m, dibuat dari papan kayu dan atap seng, pintu di sisi barat, sedangkan jendela hanya di sisi selatan.
Kompleks ini dirintis oleh Syekh Abdul Kadir Pulungan pada tahun 1800-an setelah beliau belajar dari seorang tokoh yang dikenal sebagai Baleo Natal. Setelah Syekh Abdul Kadir Pulungan wafat, jalannya kompleks tareqat Naqsabandyah ini dilanjutkan oleh putera beliau yakni Syekh Muhammad Yusuf Pulungan hingga tahun 1958.[10]
IV. Kota Padang Sidimpuan
1. Masjid Syaikh Zainal Abidin (01 22’ 17,1” LU dan 099 18’ 25,6” BT)
Secara administratif terletak di Desa pudun Julu, Kecamatan Batu Nadua, Kota Padang Sidimpuan. Masjid ini didirikan pada tahun 1901 yang didasarkan pada pertulisan latin dan Arab di atas ambang pintu masuk bangunan utama masjid:
Menurut keterangan pengurus masjid dan inskripsi tersebut di atas, Masjid Syaikh Zainal Abidin ini didirikan oleh Baginda Maludin -ketika menjadi raja di Pudun Julu- yang tidak lain adalah kemenakan dari Syaikh Zainal Abidin. Selain pertulisan pendirian masjid ini, di bagian dalam masjid sebenarnya ada pertulisan lain, namun sangat disayangkan kini sudah tertutup oleh lapisan cat yang baru, sehingga pertulisan yang ada menjadi sangat kabur dan menyulitkan pembacaannya.
Secara horisontal bangunan masjid dapat dibagi menjadi 2 bagian yakni bangunan utama lengkap dengan tonjolan mihrabnya di sisi barat, dan bagian serambi di sisi timurnya. Bangunan utama ditopang oleh satu tiang utama berbentuk silinder di bagian dalam, sedangkan serambi ditopang oleh 8 tiang juga berbentuk silinder. Pada bagian serambi ini terdapat kolam lama yang dulu difungsikan sebagai tempat berwudhu, saat ini sudah ada bangunan tempat berwudhu yang baru sekitar 5 m dari sisi selatan bangunan masjid. Setelah melalui serambi yang berada di sisi timur, terdapat pintu masuk satu-satunya menuju bangunan utama. Di sisi kiri dan kanan pintu masuk terdapat pertulisan Arab dan bahasa Arab. Pertulisan di sisi kanan pintu masuk dibingkai oleh hiasan geometris yang diberi warna kuning, hitam, dan putih. Di sisi kanan pertulisan yang dibingkai motif geometris tersebut terdapat hiasan berbentuk lingkaran dengan bentuk menyerupai bintang bersudut 6 yang diberi warna kuning dan biru.
Pertulisan di sisi kiri pintu masuk juga dibingkai hiasan geometris yang diberi warna kuning, hitam, dan putih. Di sisi kiri pertulisan yang dibingkai motif geometris tersebut terdapat hiasan berbentuk lingkaran dengan bentuk menyerupai bintang bersudut 6 yang diberi warna kuning dan biru.
Secara vertikal bangunan masjid dapat dibagi menjadi 2 bagian juga yakni bagian badan masjid dan bagian atap masjid. Pada bangunan utamanya terdapat 2 pasang jendela di masing-masing sisi utara dan selatan, jadi keseluruhan berjumlah 4 daun jendela. Atap bangunan utama limasan bertingkat 3 terbuat dari seng bercat hijau, atap mihrab juga berbentuk limasan bertingkat 2, juga berbahan seng dicat hijau, sedangkan bagian serambi yang juga beratap limasan dilengkapi dengan menara utama setinggi sekitar 5 m yang dinaungi atap bersisi 8. Atap serambi juga diperkaya oleh pseudo menara masing-masing 1 di sudut tenggara dan timur laut. Puncak-puncak atap mihrab, bangunan utama, dan menara utama serambi dihiasi bentuk bulan sabit dan bintang.
2. Makam Syaikh Zainal Abidin (01 22’ 05,8” LU dan 099 18’ 20,9” BT)
Berada di suatu bukit yang terletak sekitar 300 m arah timur dari Majid Syaikh Zainal Abidin. Secara administratif terletak di Desa pudun Julu, Kecamatan Batu Nadua, Kota Padang Sidimpuan. Kompleks makam ini terdiri dari beberapa makam keluarga Syaikh Zainal Abidin yang sebagian di antaranya telah dicungkupi. Cungkup pertama yang diatapi limasan seng, adalah makam Syaikh Zainal Abidin dan beberapa kerabatnya. Penanda kubur terdiri dari nisan dan jirat baru, awalnya hanya ditandai oleh batu alam. Beliau adalah tokoh Islam yang sangat berpengaruh khususnya di daerah Batu Nadua, Padang Sidimpuan. Menurut narasumber setempat yang juga adalah ta’mir / nazir Masjid Syaikh Zainal Abidin, tokoh pendakwah Islam ini sempat berguru di Banten, yang kemudian dilanjutkannya ke Mekah selama 13 tahun pada tahun 1800-an. Sepulangnya dari Mekah beliau mensyiarkan Islam di daerah Batu Nadua hingga wafatnya pada tahun 1321 H. k
V. Kabupaten Mandailing Natal
1. Makam Syekh Mustofa Hussein pendiri pesantren Mustofawiyah, Purba Baru (00 45’ 40,1” LU dan 099 34’ 16,1” BT)
Makam Syekh Mustofa Hussein pendiri Pondok Pesantren Mustofawiyyah terletak di kompleks Pondok Pesantren Mustofawiyyah, Desa Purba Baru, Kecamatan …, tepat di tepi jalan raya antara Panyabungan—Bukit Tinggi. Beliau adalah tokoh pendakwah Islam di daerah Mandailing dan sekitarnya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pendidikan keagamaan Muhammad Yatim (nama kecil Syekh Mustofa Hussein) diawali dengan berguru pada Syekh Abdul Hamid di Huta Pungkut Julu (Kotanopan) sembari belajar di MULO Kotanopan. Pada tahun 1900 atas saran Syekh Abdul Hamid, Muhammad Yatim berangkat ke Mekkah untuk mendalami ilmu agama lebih lanut. Di Mekkah Muhammad Yatim belajar selama 12 tahun kepada ulama-ulama di Makkah dan Madinah, yakni: Syekh Abdul Qadir Mandily (Mekah), Syekh Muchtar Bughur (Mekah), Syekh Ahmad Sumbawa (Mekah), Syekh Ali Maliki (Mekah), Syekh Sholih Bafadil (Mekah), Syekh Umar Bajuned (Mekah), Syekh Akhmad Minangkabau (Mekah), Syekh Abdurrahman Asahan (Mekah), Syekh Umar Sato (Mekah), Syekh Hasan Dagistan (Mekah), dan Syekh Muhammad Amin Ridwan (Madinah).[11]
Sepulang dari menuntut ilmu di Mekah pada 1912, Syekh Mustofa kembali ke tanah kelahirannya di Mandailing untuk berdakwah dari surau ke surau dan dari masjid-ke masjid. Kepulangannya mendapat sambutan yang baik dari masyarakat kampungnya di Tano Bato. Pada tahun 1915 kampungnya dilanda banjir bandang, sehingga beliau memindahkan pusat syiarnya ke Desa Purba Baru. Di tempat baru inilah beliau mendirikan sekolah agama yang hingga kini dikenal sebagai Madrasah Mustofawiyah.
Beliau meninggal dunia pada 1955 yang diketahui dari pertulisan yang terdapat di sisi kanan pintu masuk cungkup makamnya yang terletak di lingkungan madrasah/pesantren yang didirikannya, tepat di tepi jalan raya Panyabungan—Bukit Tinggi. Cungkup makamnya dibentuk menyerupai masjid dengan atap berbentuk kubah bersisi delapan berwarna hijau. Selain makam Syekh Mustofa Hussein, terdapat 3 makam lainnya di bawah cungkup yang sama.
2. Makam Syekh Abdul Fatah, Pagaran Sigatal-Panyabungan
Makam Syekh Abdul Fatah, secara administratif terletak di Desa Pagaran Sigatal, Kecamatan Panyabungan, di tepi jalan desa tidak jauh dari jalan lingkar Kota Panyabungan. Kompleks makam ini berukuran 10 m x 7 m, u cungkup beratap seng yang ditopang 9 tiang, dan berlantai keramik. Makam-makam yang terdapat di kompleks ini sebanyak 8 makam, dengan makam utamanya yakni makam Syekh Abdul Fatah. Tokoh ini dalam pertulisan di papan nama kompleks makam disebutkan wafat tahun 1900 dalam usia 90 tahun, sehingga dapat disimpulkan beliau dilahirkan kira-kira tahun 1810. Menurut sumber lisan, beliau berasal dari daerah Natal, datang ke daerah Mandailing pertengahan tahun 1800-an dan menjadi guru bagi ulama Huta Siantar yakni Syekh Zainal Abidin. Baik nisan dan jirat makam-makam di kompleks makam ini adalah baru, aslinya menurut sumber tutur setempat makam-makam ini penanda kuburnya adalah batu-batu alam.
3. Huta Siantar-Panyabungan
Situs ini secara administratif terletak di Desa Huta Siantar, Kecamatan Panyabungan. Berada di suatu bentang lahan yang berbukit yang didominasi tanaman karet dan rambutan, tidak jauh dari permukiman warga Desa Huta Siantar. Terdapat beberapa tinggalan purbakala yang berkaitan dengan keislaman kawasan Mandailing di situs ini, objek-objek dimaksud adalah:
a. Makam bercungkup
Cungkup makam berdenah segi empat berukuran 250 cm x 255 cm, dibina dari bata berspesi dan berlepa. Di tiap sisi terdapat pintu masuk lengkung selebar 140 cm dan tinggi 190 cm. Atap bangunan menyerupai piramida -saat ini diselimuti belukar- setinggi sekitar 2 m, jadi secara keseluruhan bangunan ini setinggi 4 m. Di bawah cungkup terdapat jirat -yang di bagian atasnya ditutupi kerikil dan kerakal- berbentuk segi panjang dengan panjang 226 cm, lebar 110 cm, dan tinggi 90 cm. Nisan makam bentuknya menyerupai kuntum bunga dengan bagian dasar berbentuk segi delapan, dihias motif sulur-suluran. Menurut keterangan masyarakat setempat, ini adalah makam seorang ulama.[12]
b. Sisa bangunan bata ke-1
Sisa bangunan bata berspesi tanpa lepa yang masih berdiri setinggi 1,5 m hingga 2 m dari permukaan tanah, berukuran 200 cm x 350 cm. Kondisinya rusak, sebagian melesak ke tanah dan di bagian atasnya ditumbuhi pohon. Di sekitarnya terdapat serakan bata, kemungkinan besar berasal dari bangunan tersebut.
c. Sisa bangunan bata ke-2
Dibandingkan sisa bangunan pertama, sisa bangunan ini kondisinya lebih parah, hanya tersisa tumpukan bata setinggi 1m dari permukaan tanah. Dibina dari bata berspesi tanpa lepa, berukuran 230 cm x 300 cm. Serupa dengan sisa bangunan pertama, bangunan ini pun dalam keadaan hancur dan beberapa bata melesak. Di utara bangunan ini terdapat batu berhias floral yang tidak diketahui fungsinya di masa lalu. Di selatan bangunan ini terdapat umpak batu bulat berdiameter 80 cm, tebal 19 cm, dan di tengahnya terdapat lubang berdiameter 45 cm sedalam 7 cm. di sekeliling lubang terdapat pertulisan Arab dalam kondisi cukup aus, sebagian yang berhasil dibaca adalah …1265…berpulang ke makka akhir…(?) dan di bawahnya terdapat hiasan floral.
d. Makam Regent Huta Siantar
Sepasang makam bercungkup dibina dari bata berspesi dan berlepa berukuran sama yakni 2,9 m x 1 m dan tinggi 1,2 berada sekitar 20 m arah barat dari sisa bangunan bata kedua. Salah satu dari kedua makam itu berinskripsi latin:
SIPOENTJAK GL SOETAN-
KOEMALA JANG DIPERTOE-
AN REGENT VAN KOTASIAN
TAR, MANDAILING C.A
LAHIR …
MENINGGAL 18.3.1866
Inskripsi tersebut menyebutkan nama tokoh yang dimakamkan yakni Sipuncak Gelar Sutan Kumala, yang pernah menduduki jabatan sebagai regent di Kota(Huta)Siantar, Mandailing, dan meninggal pada 18 Maret 1866.
Di depan makam terdapat nisan bulat -berada di antara kedua jirat makam- berbahan batu granit berukuran panjang 90 cm dengan diameter 17 cm. bagian bawah nisan berbentuk segi empat, bagian tengahnya segi delapan, dan bagian atas bulat meruncing di puncaknya. Pada nisan yang berada di sisi utara (nisan kepala) terdapat pertulisan Arab: Laa ilaha illallah 1283 …, selebihnya tidak terbaca karena aus.
Makam ini dinaungi cungkup beratap seng yang ditopang oleh 8 tiang kayu, yang didirikan di atas umpak bata berspesi tanpa lepa. Makam ini dikelilingi pagar berukuran 9,5 m x 25 m, yang disusun dari bata berukuran 15 cm x 12 cm x 4 cm, berspesi namun tanpa lepa. Ketinggian pagar tersisa beragam antara 20 cm hingga 30 cm.
VI. Kabupaten Padang Lawas Utara
1. Makam Maruhum Kahar Gelar Patuan Jumalo Alom Harahap
Makam Maruhum Kahar (hidup antara 1767--1839 M), ditandai oleh sepasang nisan silindrik berbahan batu pasir (sandstone) dalam kondisi relatif utuh, hanya nisan kaki (selatan) bagian puncaknya sudah hilang sedang bagian kakinya aus di sebagian permukaannya. Bagian kaki nisan -yang seluruh permukaannya ditutupi lumut dan jamur kerak (lychenes)- ini berbentuk persegi, permukaannya dihiasi motif floral, bagian badannya yang berbentuk silinder dihiasi garis-garis vertikal dan tumpal, sedangkan bagian kepala berbentuk lingkaran sebanyak 3 tingkat yang diperkaya dengan bentuk belah rotan (halfround), sedangkan bagian teratas (puncak) berbentuk kuntum bunga.
Tokoh yang dimakamkan di Desa Portibi Julu, Kecamatan Portibi, tersebut adalah raja Portibi yang memerintah kawasan Portibi ketika terjadi invasi kaum Padri dari arah Tambusai ke Padang Lawas. Berdasar keterangan salah satu keturunan Maruhum Kahar (gelar Patuan Jumalo Alom I Harahap), tokoh ini adalah pelopor marga Harahap yang datang ke kawasan Portibi dari daerah Sungai Durian.[13]
VII. Kabupaten Labuhan Batu
1. Makam raja-raja Negeri Lama (02 18’ 52,5” LU dan 100 05’ 16,5” BT)
Jejak peninggalan Islam Negeri Lama yang masih dapat dilihat yaitu (I) pemakaman atau pekuburan Sultan ‘Abbas bin Sultan Musa dengan sebuah mesjid kecil (surau) dan (II) Mesjid Besar Negeri Lama dengan tempat pemekaman keluarga Sultan Negeri Lama.
a. Kompleks makam
Pekuburan Sultan ‘Abbas bin Sultan Musa merupakan pemakaman umum tempat Sultan Negeri Lama dimakamkan bersama keluarga sultan, ulama, dan rakyat Negeri Lama. Di pemakaman ini ditemukan banyak makam, baik makam kuno mau pun makam baru. Beberapa makam kuno dengan batu nisan yang mengandung inskripsi dalam aksara dan bahasa Arab atau berbahasa Melayu dapat ditemukan di pemakaman ini. Makam dengan batu nisan kuno dari pemakaman ini secara morfologi mempunyai kesamaan dengan batu nisan kuno dari pemakaman Negeri Kota Pinang, namun lebih sederhana. Bentuk batu nisan balok/pilar bersisi delapan dan silinder menyerupakan ‘miniature menara’ dengan mahkota kerucut serta batu nisan pipih dari lempengan batu yang dipotong dengan lengkung-lengkung. Bahan batuan yang digunakan untuk batu nisan juga sama, yaitu batuan granit putih dengan bintik hitam dan marmer putih. Sementara memuat teks epitaph nama tokoh yang dimakamkan dan angka tahun kematian. Teks atau inskripsi dipagatkan dengan kaligrafi Arab dan gaya penulisan indah atau khat tsulust dan tsulust ornamental. Kaligrafi Arab yang dipahatkan ada yang menggunakan tehnik timbul dan tidak timbul, berlubang.
a.1. Makam Sultan ‘Abbas bin Sultan Musa
Batu nisan dari batuan granit putih berbintik hitam dengan bentuk balok/pilar bersisi delapan (oktagonal) serta bagian mahkota berbentuk kerucut. Batu nisan mengandung teks epitaph berbahasa Melayu yang dipahatkan pada sisi selatan batu nisan penanda bagian kepala makam. Teks atau inskripsi dipahatkan menjadi empat baris, kaligrafi dipahatkan tidak timbul dan tidak pula dipahat dalam panil/bingkai. Namun si pemahat kaligrafi Arab membuktikan dirinya sebagai seorang ahli kaligrafi atau khatat yang cemerlang. Itu dibuktikan dengan bentuk huruf khat tsulust yang halus dan huruf yang saling bertumpang tindih sehingga kelihatan sangat padat.
Inilah Paduka almarhum Sultan
‘Abbas bin almarhum Sultan
Musa yang mangkat pada makam
Salasa (selasa) 1204 hijrah (1790 M.)
Keterangan waktu mangkat, tahun 1204 Hijrah atau 1790 M, menjadi petunjuk pertanggalan batu nisan ini yang tertua di pemakam Sultan ‘Abbas. Sultan pendiri Negeri Lama Bilah Hilir ini pernah memerintah pada pertengahan akhir abad ke-18 M.
a.2. Makam Raja Nur bin Raja Sulung Mat Kasim
Batu nisan makam Raja Nur dibentuk dari potonangan batan granit putih berbintik hitam. Bentuk batu nisan berupa pilar/balok bersisi delapan dengan mahkota kerucut, serupa dengan gaya batu nisan Melayu dari kawasan pantai timur sumatera. Batu nisan penanda bagian kepala sisi selatan dipahatkan inskripsi, namun pahatannya tidak timbul. Teks epitaph yang singkat ini dipahat menggunakan gaya penulisan atau khat naskhi dengan bahasa Arab.
Qabru/Raja Nur/bin/Raja Sulung/Mat Kasim/al matu fii yaumi/4 Sawal sanah1227 / Al Ghani
Pertanggalan pada batu nisan Raja Nur cukup awal, tahun 1227 hIjrah atau 1809/10 M., bila dibandingkan kebanyakan batu nisan lain yang berangka tahun dari awal hingga pertengahan tahun 1900-an. Bentuk batu nisannya serupa dengan batu nisan makam Sultan ‘Abbas dan sangat sederhana untuk penanda makam seorang bangsawan, batu nisan tidak dihias dengan motif hias selain kaligrafi Arab. Inskripsi dipahatkan pada sisi utara batu nisan penanda bagian kepala makam.
a.3. Makam Al Haj Muhammad Yunus
Bentuk dan bahan batuan serupa dengan batu nisan kedua makam tokoh di atas, sederhana saja. Hanya saja bentuk batu nisan sangat istimewa. Bahan batuan granit berbintik hitam dipotong membentuk balok persegi empat dengan mahkota berupa profil setengah bulat menyerupakan tiga ‘ban’ dan saling berhimpitan dengan puncak kerucut. Bentuk batu nisan ini sangat khas dan jarang ditemukan perbandingannya. Teks epitaph sebagai inskripsi dipahatkan pada sisi selatan batu nisan penanda kepala makam dengan kaligrafi Arab menggunakan khat tsulust yang dipahat tidak timbul.
al Haj Muhammad Yunus 1328
Inskripsi dipahatkan sangat singkat. Al haj gelar yang kenakannya menunjukkan ia telah pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Lalu diikuti nama dan ditutup dengan keterangan waktu tahun mangkatnya.
b. Mesjid besar Negeri Lama (02 18’ 51,4” LU dan 100 05’ 05,2” BT)
Secara administratif merupakan wilayah Desa Negeri Lama, Kecamatan Bilah Hilir. Mesjid Besar Negeri Lama merupakan bangunan dengan konstuksi dan teknologi eropa dari era akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. Keistimewaan perancangan bangunan mesjid berupa kubah (dome) yang cukup besar dan satu-satunya mesjid dengan kubah bergaya Romawi Timur atau Turki di kawasan Labuhan Batu, bahkan tidak ditemukan di Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, dan Langkat. Kubah besar ini ditopang oleh dua deretan kolom/tiang berukuran besar. Tiang berbentuk silinder dengan kaki berupa profil cincin dengan mahkota kelopak-kelopak bunga. Masuk ke dalam mesjid melewati satu pintu berukuran lebar. Mesjid memiliki banyak jendela yang berukuran lebar dan besar. Di dalam mesjid, tepatnya dibagian bilik mihrab, didirikan mimbar dengan tempat duduk dan tangga dari semen serta atap kubah bersisi delapan, seperti payung, yang disangga empat tiang kayu.
Makam-makam bangsawan Negeri Lama
Dalam lingkungan halaman belakang mesjid ditemukan pula pemakaman keluarga Raja Negeri Lama. Makam dengan batu nisan berbahan marmer putih dengan inskripsi memuat nama tokoh yang dimakamkan dalam kaligrafi Arab menggunakan khat tsulust ornamental. Dua makam dengan kaligrafi Arab ditemukan pada batu nisan makam Tengku Ijah gelar Tengku Puan binti Tengku Sulaiman dan makam Tengku Murat bin Tengku Sultan ‘Adil Badru ‘Alam Syah Billah.
Batu nisan makam Tengku Ijah
Kaligrafi Arab dengan khat tsulust ornament dan teks epitaph menggunakan bahasa Melayu dipahatkan dalam panil/bingkai bulat. Sementara inskripsi dipahatkan menjadi delapan baris (8). K
c. Masjid Agung Rantau Prapat
Secara administratif berada di Kelurahan Kartini, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhan Batu. Menurut H. Tengku Suib (keturunan Raja Bilah terakhir) masjid ini didirikan pada tahun 1935 di atas tanah yang diwakafkan oleh Raja Bilah terakhir yakni Tengku Adil Gelar Tengku Bidal Alamsyah. Dana pembangunan masjid ini didapat dari sisa dana pajak (opsenten) penjualan hasil produksi perkebunan di daerah Labuhan. Masjid ini telah mengalami 2 kali renovasi, pertama pada masa Amir Machmud menjadi Menteri Dalam Negeri dan kedua pada tahun 1984 pada masa pemerintahan Bupati Abdul Manan.
Masuk areal masjid ini akan melalui gapura selebar 5,8 m yang di kedua sisinya terdapat bentuk yang menyerupai menara masjid ini. Areal masjid seluas 3984,5 m2 dibatasi oleh tembok mengikuti batas terluar arealnya. Selain masjid sebagai bangunan utama di kompleks ini juga terdapat bangunan lain yang berupa menara masjid, sumur, dan tempat wudhu. Denah menara masjid berukuran 2,3 m x 2,3 m setinggi ± 12 m; tempat wudhu berukuran 6 m x 3 m setinggi 0,7 m; sedangkan sumur berdiameter 1 m, setinggi 1,2 m dan tebal bibir sumur 25 cm.
Denah dasar masjid ini bujursangkar dengan bagian mihrab tampak menonjol di sisi barat. Masjid ini dinaungi atap limasan yang di puncaknya terdapat kubah bersusun yang terdiri dari bangun bersisi delapan di bagian bawah yang dilengkapi dengan kaca-kaca untuk masuknya cahaya, di atasnya kubah bersisi delapan yang diakhiri dengan kemuncak berbentuk bola-bola sebanyak 5 susun dengan ujungnya berupa hiasan berbentuk bulan sabit dengan bintang di tengahnya. Bagian luar kubah terbuat dari logam, sementara bagian dalamnya disusun dari kayu. Bagian kubah ini ditopang 4 tiang utama masing-masing berukuran 45 cm x 45 cm yang didirikan di atas balok segi delapan dari semen setinggi 95 cm.
VIII. Kabupaten Labuhan Batu Selatan
1. Masjid dan makam Raja-raja Kota Pinang (01 53’ 31,6” LU dan 100 05’ 33,3” BT)
a. Masjid Kota Pinang
Denah bangunan persegi panjang, dengan mihrab bersisi 5 berada di sisi barat masjid. Hampir semua sisi masjid dikelilingi serambi selebar 1 m kecuali bagian mihrab. Pembatas antara masjid dengan ruang terbuka di kompleks ini adalah pagar bata berspesi dan berlepa setinggi 0,5 meter yang mengelilingi serambi masjid. Melekat di atas pagar keliling tersebut adalah tiang-tiang kayu yang menopang atap masjd, yang dibuat dari seng gelombang menanungi seluruh bangunan masjid termasuk serambinya.
Masjid ini dibangun pada masa Sultan Mustafa sekitar tahun 1927. Bagian atap masjid berbentuk limasan yang di puncaknya terdapat kubah bersisi delapan bersusun 2. Tiap-tiap sisi atap terdapat atap tambahan juga berbentuk limasan, sedangkan di sudut-sudutnya terdapat sisa atap pusatnya, sehingga bentuk atap bersisi jamak. Di tenggara masjid terdapat sumur dan tempat wudhu.
b. Kompleks pemakaman Raja-raja Kota Pinang
Selain bangunan masjid, di areal Masjid Kota Pinang juga terdapat kompleks makam Raja Kota Pinang dan keluarganya. Tempat pemakaman keluarga Sultan, dibangun pagar tembok keliling serta pagar kayu atau pagar besi dan bangunan pelindung beratap. Pagar tembok keliling merupakan salah satu elemen makam. Dalam satu pagar tembok keliling ditempatkan beberapa makam dari keluarga sultan yang sangat dihormati, namun demikian ada pula hanya satu tokoh. Tembok keliling yang oleh masyarakat dari kawasan Labuhan Batu dikenal dengan istilah kandang ini kadang diperuntukkan untuk satu makam tokoh saja.
Selain itu, elemen makam lainnya berupa jirat dan batu nisan, sebagai penanda bagian kepala dan kaki makam. Jirat atau batu badan yang menutupi permukaan makam berbentuk kubus persegi panjang. Jirat dibentuk dari lempengan-lempengan batuan marmer putih yang sambungkan dengan semen. Jirat marmer sering di hias dengan kaligrafi Arab, seni tulisan indah, dengan menggunakan gaya penulisan atau khat tsulust ornamental yang halus. Sebagai contoh yang sangat menarik yaitu jirat pada makam Sultan Negeri Kota Pinang, Tengku Musthfa Yang Dipertuan Ma’mur Perkasa Alam Syah, yang mangkat 7 Maret 1946 dalam peristiwa kuhanberusuhan tahun 1946.
Batu nisan sebagai penanda bagian kepala dan kaki makam nerepukan elemen makam yang sangat penting. Batu nisan dibentuk dari batuan marmer putih yang dipotong dan diupam halus. Selain itu, digunakan pula jenis batuan granit putih berbintik-bintik hitam dengan tekstur dan butiran yang kasar. Bentuk batu nisan ada dua bentuk variasi. Yaitu: (i) bentuk balok batu atau pilar persegi empat, lima, dan octagonal (bersudut/bersisi delapan). Batu nisan berbentuk balok bukan dari bahan batuan, melainkan dibentuk dari potongan-potongan lempengan papan batu yang saling direkatkan dengan semen. Bentuk batu nisan jenis ini menyerupakan miniature ‘menara’, kadang serupa ‘piala’ (ii) bentuk batu nisan papan batu yang pipih dengan potongan yang melengkung-lengkung. Bentuk potongan batu kadang terkesan membentuk sisi tempayan atau kendi dengan penutupnya.
Batu nisan yang cukup menarik yaitu untuk penanda makam Sultan Negeri Kota Pinang, Tengku Musthafa. Batu nisan berbentuk balok atau pilar bersisi delapan atau oktagonal. Setiap sisi diberi motif hias dengan pola kerawang bertema tetumbuhan. Sisi selatan batu nisan penanda kepala dipahatkan inskripsi dalam kaligrafi Arab dalam bahasa Melayu modern dengan seni gaya tulisan atau khat tsulust ornamental yang sangat halus. Sementara pada batu nisan penanda kaki sisi selatan dipahatkan teks yang sama dalam aksara latin dengan gaya penulisan huruf balok tebal dan huruf miring bersambung. Sementara bahasa yang digunakan Bahasa Indonesia dengan penulisan dan ejaan yang telah disempurnakan, EYD. Inskripsi dipahatkan timbul dengan pahatan dangkal dan dikerjakan dengan sangat teliti.
2. Kompleks Istana Kota Pinang
Dibangun tahun 1926 pada masa pemerintahan Sultan Tengku Mustafa Makmur Perkasa Alamsyah. Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan, sebagian besar sisa bangunan istana yang masih tampak tertutupu lumut dan semak belukar, bahkan pada sebagian temboknya dijalari akar tanaman keras sehingga timbul retakan-retakan besar.
Untuk mencapai kompleks Istana Kota Pinang, harus melalui gapura berbahan bata berspesi dan dilepa. Kemungkinan terdapat pintu pada gapura/gerbang dimaksud, sebab pada kedua sisi dalamnya terdapat besi-besi yang tampaknya dulu berfungsi sebagai pengait ke pintu gerbang. Bagian bawah bangunan ini tidak banyak hiasan, sementara bagian atasnya berhias motif sulur-suluran dan kelopak bunga di puncaknya. Di sisi kiri-kanan kedua gerbang tersebut dulunya adalah tembok keliling kompleks istana.
Kompleks istana Kota Pinang menempati areal yang cukup luas, di sisi kiri-kanan tampaknya masih merupakan areal istana, yang diketahui dari adanya sisa-sisa sudut pagar. Sementara di bagian belakang istana terdapat beberapa bak penampungan air berukuran 100 cm x 150 cm, lengkap dengan pipa-pipa logam dan saluran air.
Suplai air bagi penghuni istana dahulu dipasok lewat menara air yang terletak 70 m arah baratlaut bangunan istana, yang sumbernya berasal dari sumur berdiameter 6 m yang terletak sekitar 15 m arah baratlaut dari bangunan menara air. Di samping sumur tersebut terdapat lantai dan beberapa sisa bangunan yang tidak diketahui fungsinya.
Sekitar 100 m arah tenggara dari sisa-sisa bangunan istana terdapat bekas bangunan istana pangeran. Saat ini di atas tapak istana pangeran dimaksud telah didirikan bangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Tidak banyak yang tersisa dari kompleks istana pangeran saat ini, selain sumur dan menara penampungan air. Bentuk dan ukuran sumur sama dengan yang berada di sekitar bangunan istana, sedangkan menara airnya berukuran lebih kecil.
3. Masjid lama Tanjung Medan (02 03’ 20,3” LU dan 100 08’ 25,3” BT)
Administratif termasuk dalam wilayah Desa Tanjung Medan, Kecamatan Kampung Rakyat (dahulu disebut Kampung Raja). Jejak peninggalan Islam dari Kampung Raja yaitu Mesjid Kampung Raja dan sebuah makam Raja Kampung Raja, Tengku Nong Hamzah. Mesjid Kampung Raja dibangun dengan gabungan tehnologi modern eropa dan tradisional Melayu. Kolom-kolom beton dikombinasikan dengan dinding-dinding papan. Bangunan berdenah persegi empat dengan teras keliling, kecuali sisi tempat mihrab. Tiga sisi teras dilengkapi pintu gerbang dengan pilar-pilar persegi empat dengan lengkung setengah lingkaran. Bagian pintu gerbang dihias dengan motif ‘bulan sabit-bintang’, sedangkan pada bagian lengkung setengah lingkaran terdapat garis-garis seperti garis penunjuk waktu pada jam. Mihrab dibentuk dari semen berbentuk setengah silinder dengan bagian atas seperempat bola. Mihrab ini menjadi bagian bangunan yang menjorok/menonjol di sisi barat. Pada bagian dalam mesjid, tepatnya di depan mihrab di sisi utara dibangun mimbar sederhana berupa kursi seperti tangga berbahan semen. Sementara atap bangunan mesjid menggunakan atap limas yang disambungkan dengan bagian kubah bawang bersisi delapan atau oktagonal. Pada bagian teras depan sisi utara dibangun menara dengan atap kubah.
Pada halaman belakang mesjid terdapat makam Raja Kampung Raja. Makam ini terdiri dari berbagai elemen makam, yaitu; bangunan pelindung dengan pagar keliling dari beton, jirat dari beton yang ditutup ubin keramik putih, serta batu nisan dengan semen yang juga ditutup dengan potongan-potongan ubin keramik putih. Pada sisi timur dan barat dipasang prasasti berbahan marmer putik keabu-abuan. Prasasti sisi timur dipahatkan inskripsi berhurup Arab dan berbahasa Melayu, inskripsi dipahat dengan kaligrafi Arab dan khat tsulust ornamental yang halus. Sementara prasasti barat dipahatkan inskripsi yang sama, namun menggunakan aksana latin dengan gaya penulisan huruf balok tebal dan huruf miring bersambung. Bahasa yang digunakan Bahasa Indonesia dengan penulisan dan ejaan Soewandi. Inskripsi dipahatkan dalam panil/bingkai persegi empat.
IX. Kabupaten Labuhan Batu Utara
1. Tapak istana Kualuh (02 30’ 49,5” LU dan 099 43’ 16,2” BT)
Saat ini sudah tidak ditemukan lagi sisa-sisa kemegahan Istana Kualuh. Jangankan bangunan utuhnya, puing-puing bangunannya pun kini tidak tersisa lagi. Kondisi demikian diakibatkan oleh Revolusi Sosial yang tidak saja menghabisi para bangsawan di Sumatera Timur tapi juga bangunan bukti kejayaan kerajaannya. Penyebab lainnya adalah ekstensifikasi lahan perkebunan kelapa sawit di areal bekas istana ini yang tanpa ampun membuldoser sisa-sisa bangunan yang masih ada. Satu-satunya komponen di kompleks istana Kualuh yang tersisa adalah kolam buatan yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Kolam Raja.
2. Masjid Al-Azhar Kualuh (02 30’ 56,0” LU dan 099 43’ 14,6” BT)
Satu-satunya tinggalan monumental yang tersisa dari Kerajaan Kualuh adalah Masjid Al-Azhar. Hampir seluruh eksterior bangunan masjid dicat hijau, kecuali kubahnya yang berwarna metalic. Bangunan utama didirikan di atas batur setinggi 40 cm, dilengkapi teras yang mengelilingi bangunan utama. Bangunan utama serta teras dinaungi atap limasan yang di atasnya dilengkapi dengan kubah bersisi delapan yang ditopang oleh konstruksi bersisi delapan juga. Untuk penghawaan dan pencahayaan bangunan utama didapat dari sejumlah pintu dan jendela-jendelanya. Dilengkapi menara di bagian tenggara bangunan utama yang hinga kini masih berfungsi sebagai tempat dikumandangkannya azan. Menara setinggi sekitar 12 meter ini dinaungi oleh atap kubah bersisi 4. Untuk pencahayaan dan penghawaan menara didapat dari lubang-lubang kerawangan segitiga yang dipasang vertikal di badan menara, sedangkan di bagian kakinya dipasang hampir memenuhi seluruh bagian kaki menara ini. Pintu masuk utama menuju bagian dalam masjid berada di sisi timur, yang ditandai oleh keberadaan kuncungan.[14]
3. Reruntuhan istana Marbau
Jejak peninggalan Islam Merbau secara fisik masih dapat diamati berupa (a) sisa kediaman Raja Merbau dan (b) tempat pemakaman keluarga Raja Merbau.
a. Sisa Kediaman Raja Merbau
Sisa kediaman Raja Merbau yang masih dapat dilihat secara fisik berupa tangga bagian depan, bak mandi, WC, dan sumur. Bangunan tangga dengan pipi tangga melebar ke arah luar dan dibangun menggunakan batu bata dengan perekat semen, demikian juga bahan bangunan sumur. Bangunan rumah dengan ruang-ruang di dalamnya dibangun dari bahan kayu tidak ditemukan lagi. Bangunan ini habis terbakar dalam ketika Revolusi Sosial tahun 1946, serupa dengan pusat-pusat kerajaan di Pantai Timur Sumatera Utara lainnya.
b. Pemakaman Keluarga Raja Merbau
Tempat pemakaman keluarga Raja Merbau merupakan tempat yang cukup menarik. Lokasi tempat pemakaman berdekatan dengan sisa kediaman Raja Merbau dan Mesjid Agung baru. Sebagian makam berada pada tempat yang tinggi, karena kawasan Merbau berbukit-bukit. Makam-makam kuno di sini menggunakan batu nisan dengan bahan batuan basaltic berwarna keabuan hingga krem dan batuan marmer putih.
Batu nisan bahan batuan basalt, berbentuk silinder, motif hias bunga teratai
Makam dengan batu nisan kuno berbahan basaltic mempunyai bentuk yang cukup menarik, karena tidak ditemukan di pemakaman Sultan Kota Pinang, Raja Kampung Raja, dan Negeri Lama. Batu nisan kuno ini dirancang dengan bentuk khas berupa balok batu silinder dengan mahkota dan motif hias mengambil tema hias bunga (kelopak bunga) teratai dan bebungaan serta tanaman. Selain itu tema hias geometrik juga dipahatkan, seperti deretan garis vertical dan horizontal. Motif hias dipahat dengan pahatan yang dalam, namun jenis batu nisan ini tidak ditemukan inskripsi, baik berupa kaligrafi Arab atau latin.
Selain itu, ada pula bentuk batu nisan dengan batuan basaltic yang berbentuk balok atau pilar batu persegi empat dengan mahkota kerucut yang dihias profil sederhana berupa garis-baris horizontal. Jenis batu nisan ini sangat sederhana, tidak dipahatkan motif hias. Salah satu batu nisan jenis ini mengandung inskripsi dalam kaligrafi Arab dengan gaya penulisan (khat) naskhi. Kaligrafi dipahat bukan dalam bentuk timbul. Inskripsi dipahatkan pada batu nisan penanda bagian kepala makam sisi utara dan menggunakan bahasa Arab. Sebagai contoh yang menerakan angka tahun yaitu batu nisan makam Malik yang mangkat tahun 1311 Hijriah atau 1897/8 M.
Batu nisan makam Malik Lubis (?)…’Ali
‘Haza al Malik Lubis … (belum dapat dibaca) …’Ali Muharram al fajar sanah 1311’
Inilah al Malik Lubis …’Ali Muharram saat fajar 1311
Batu nisan berbentuk silinder dengan motif hias bertema bunga teratai geometric dari batuan basaltik munkin dibuat pada akhir abad ke-19 M., seperti batu nisan makam Malik Lubis.
Batu nisan berbahan batuan marmer putih
Sementara makam kuno dengan batu nisan menggunakan bahan marmer putih ada dua bentuk. Pertama. Batu nisan berbentuk balok atau pilar persegi empat dengan mahkota kerucut dengan panil/bingkai yang indah berbentuk persegi empat (trapesium) tempat dipahatkan teks epitaph dalam kaligrafi Arab.
Kedua, bentuk batu nisan dari bahan batuan marmer putih yaitu bentuk pipih yang dipotong melengkung. Bentuk panil/bingkai yang menyerupakan guci bertutup menegaskan bentuk batu nisan ini. Seni pahat kaligrafi Arab serupa dengan batu nisan balok/pilar.
Seni tulisan indah pada batu nisan marmer putih ini menggunakan gaya penulisan khat tsulust ornamental yang dipahat timbul dan dipahat dengan sangat teliti, sehingga menjadi karya seni yang sempuna. Kaligrafer atau khatat menunjukkan keahliaannya dengan kesempurnaan bentuk huruf dan penulisan kata demi kata yang rapat serta padat. Beberapa huruf kadang bersambung atau menyentuh huruf lainnya. Teks atau inskripsi dipahatkan dalam kolom-kolom panil/bingkai. Kolom pertama dibentuk melengkung dan melingkar, di dalam tesk dalam bahasa Arab dipahat dengan tehnik penulisan ‘gaya cermin’. Tehnik penulisan ‘gaya cermin’ berkembang dan sangat disenangi di kawasan Persia dan Turky pada abad ke-17 M. Tehnik penulisan ‘gaya cermin’ suatu kreasi dalam penulisan kaligrafi Arab dengan mengulangi kalimat yang sama dalam keadaan terbalik. Bila tulisan Arab ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan, maka dalam ‘gaya cermin’ tulisan dibalik dari kanan ke kiri, terbalik. Tulisan terbalik ini baru dapat dibaca jika menggunakan cermin. Tehnik penulisan dengan ‘gaya cermin’ pada batu nisan dan juga bangunan sangat jarang ditemukan.
Ada tiga batu nisan dengan hasil karya kaligrafi Arab yang sangat indah di pemakaman ini. Yaitu, batu nisan pada makam Raja ‘Ali, Sultan Ar Rahman, dan Raja Nur Cahaya Seri Raja Lela.
Batu nisan makam Raja ‘Ali
Inskripsi dengan aksara dan bahasa Arab dipahatkan dalam panil/bingkai persegi empat trapezium yang terbagi dalam sepuluh kolom, kolom pertama dipahat melingkar. Bagian sudut atas panil dihias dengan motif serupa ‘matahari dengan pancaran sinarnya’. Kaligrafi Arab dengan gaya penulisan (khat) tsulust ornamental dipahatkan pada batu nisan penanda bagian kepala makam sisi selatan. I
X. Kabupaten Asahan
1. Masjid dan kompleks makam Sultan Ahmad, Tanjung Balai
Jejak peninggalan Islam yang sangat khas dari kesultanan negeri Asahan yaitu Mesjid Sultan Ahmad Syah dengan tempat pemakaman keluarga sultan Asahan di halaman belakang mesjid.
a. Masjid Sultan Ahmad Syah
Beberapa hal yang dapat dilihat di lingkungan Mesjid Sultan Ahmad Syah di Asahan dan cukup menarik diamati. Pertama bentuk bangunan mesjid yang khas sebagai paduan seni bangunan dunia Melayu sumatera bagian Timur dengan tehnologi bangunan eropa. Ruang utama mesjid tidak disangga oleh kolom/tiang merupakan sebuah ruang yang besar. Pada teras atau serambi depat terdapat tiga (3) pintu yang berukuran cukup besar, sementara pada serambi kanan dan kiri mesjid masing-masing terdapat sebuah pintu besar pula. Pintu tengah bagian serambi depan ditempelkan dua buah prasasti dari batuan marmer putih dan masing-masing ditata di kanan dan di kiri pintu. Bagian dinding yang tebal dilengkapi dengan jendela-jemdela berukuran besar. Di dalam mesjid dibuatkan mihrab dan mimbar yang cukup indah pengerjaannya.
Prasasti Mesjid Sultan Ahmad Syah
Prasasti ini dipahatkan pada batu marmer putih dengan inskripsi yang dipahatkan dalam panil/bingkai lingkaran menyerupakan bentuk cap atau stempel sultan yang pernah memerintah dikesultanan Asahan. Prasasti tersebut ada dua (2) lempeng dan dipasangkan di kanan dan kiri pintu tengah mesjid. Inskripsi mengunakan seni pahat kaligrafi Arab dengan khat tsulust ornamental dan dipahatkan tidak timbul (pahatan dalam). Teks epitaph dipahatkan melingkar dalam dua baris mengelilingi sebuah lingkaran yang didalamnya dipahatkan sekuntum bunga, seperti bunga melati putih.
Prasasti sisi kanan atau utara pintu tengah mesjid
· Inskripsi baris lingkaran pertama
Laa ilaha illa Allah, Laa ilaha Illa Allah al Malik al Hakku al Mubin
· Isnkripsi baris lingkaran kedua
Maulana Sultan Ahmad Syah al Manshur bi Allah
Prasasti sisi kiri atau selatan pintu tengah mesjid
· Inskripsi baris lingkaran pertama
Laa ilaha illa Allah Muhammad rasul Allah Shadaqu al wa’da al Amin
· Inskripsi baris lingkaran kedua
Al Marhum Maulana Sultan Muhammad Husain Syah
Inskripsi pada kedua prasasti tersebut menyebut dua tokoh yaitu Maulana Sultan Ahmad Syah al Manshur bi Allah (prasasti sisi kanan/utara) dan al marhum Sultan Muhammad Husain Syah (prasasti sisi kiri/selatan). Namun sebenarnya menegaskan pada salah satu tokoh saja yaitu Maulana (atau Yang Mulia) Sultan Ahmad Syah al Manshur bi Allah bin al Marhum Sultan Muhammad Husain Syah. Sultan inilah yang membangun mesjid besar negeri Asahan dan dinamakan dengan namanya, Mesjid Sultan Ahmad Syah. Hanya saja tidak ada keterangan tertulis yang menjelaskan kata anak atau ‘bin’.
Prasasti ini juga sebagai petunjuk bahwa mesjid ini dibangun dan diresmikan pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Syah di Negeri Asahan. Hanya saja tidak ada prasasti yang menjelaskan angka tahun pembangunan dan peresmian mesjid kesultanan ini.
Pertulisan pada mimbar Masjid Sultan Ahmad Syah
Prasasti atau tepatnya teks epitaph, pada mimbar Mesjid Sultan Ahmad Syah dipahatkan pada tiga panil/bingkai. Yaitu; panil I dan II berada di kanan dan kiri pipi tangga mihrab, serta panil III terdapat di atas pintu mimbar. Panil I dan II di kanan dan kiri pipi tangga mihrab dipahat dalam panil/bingkai bingkaran yang bagian tepinya dihias dengan kelopak bunga, seperti bunga teratai. Seperti prasasti pada sisi kanan dan kiri di pintu masuk utama (tengah), kedua prasasti di pipi tangga mihrab ini mempunyai isi teks yang sama. Kesamaannya juga tampak pada cara menata isi teks, yaitu membentuk dua baris dalam lingkaran. Namun demikian inskripsi ini dipahatkan pada bahan kayu. Sementara panil III yang ditempatkan pada pintu gerbang mimbar. Teks epitaph dipahatkan dalam panil/bingkai persegi panjang dengan ujung-ujung memlengkung, serupa ‘kapsul’. Inskripsi dalam kaligrafi Arab ditata dalam dua kolom dan dua baris, berupa kutipan ayat dari al Qur’an (namun belum dibaca). Sementara pada bagian yang melengkung masing-masing dipahatkan dua kalimah syahadah. Bagian lengkung sisi kanan dipahatkan syahadah pertama dan bagian lengkung kiri dipahatkan syahadat kedua.
Mimbar Mesjid Sultan Ahmad Syah ini dibuat dari bahan kayu dan ditempatkan di belakang sisi kanan mihrab. Bangunan mimbar disusun dari susunan balok dan papan kayu. Bentuknya menyerupakan singasana yang dilengkapkan dengan tangga berpintu dan atap kubah bersisi delapan yang disanggah empat tiang balok berukir profil. Motif hias yang kaya dipahatkan pada mimbar menunjukkan bangunan ini merupakan rekayasa seorang ahli mebel Cina yang handal. Mihrab ini membuktikan hasil karya lak kayu Cina yang khas. Hiasan geometric pada pintu mihrab serta motif bunga yang dipadukan dengan tumbuhan menjalar pada panil/bingkai horizontal dan vertical. Pengerjaan akhir dengan pengecatan mengunakan warna merah, kuning, hitam dan putih.
Pada pipi tangga di sisi kanan dan kiri serta bagian atas pintu mimbar dipahatkan inskripsi dalam panil/bingkai dengan kaligrafi Arab menggunakan khat tsulus ornamental. Gaya pahatan kaligrafi Arab mimbar memiliki kesamaan dengan prasasti mesjid, baik dalam ketelitian dan kehalusan garis-garis hurufnya. Pemahat dan kaligrafernya seorang yang sangat ahli (seorang khatat).
Inskripsi sisi kanan (utara) pipi tangga Mihrab
· Inskripsi baris lingkaran pertama
Laa ilaha illa Allah, Laa ilaha Illa Allah al Malik al Hakku al Mubin
· Inskripsi baris lingkaran kedua
Maulana Sultan Ahmad Syah al Manshur bi Allah
Inskripsi sisi kiri (selatan) pipi tangga Mihrab
· Inskripsi baris lingkaran pertama
Muhammad rasul Allah Shadaqu al wa’da al Amian
· Inskripsi baris lingkaran kedua
Bin Al Marhum Maulana Sultan Muhammad Husain Syah
Dari kedua inskripsi tersebut diperoleh keterangan bahwa Sultan Ahmad Syah anak Sultan Muhammad Husain Syah, karena di awal inskripsi baris lingkaran kedua ditemukan keterangan ‘bin’ bahasa Arab yang berarti anak. Keterangan ini tidak ditemukan dalam prasasti sisi kiri (selatan) pintu tengah mesjid.
Inskripsi pada bagian atas pintu mimbar
· Inskripsi bagian lengkung kanan (kalimah syahadat I)
Laa ilaha illa Allah al Malik al Haq al Mubin
· Inskripsi bagian lengkung kiri (kalimah syahadah II)
Muhammad rasul Allah shallu ‘ala wa al Amin
b. Kompleks makam keluarga Sultan Asahan
Pemakaman keluarga Sultan Asahan berada di belakang halaman Mesjid Sultan Ahmad Syah. Salah satu tokoh yang dimakamkan di sini yaitu Sultan Muhammad Husain Syah ayah Sultan Ahmad Syah. Batu nisan kuno dalam pemakaman keluarga Sultan Asahan ini mempunyai bentuk yang sangat beragam. Namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, batu nisan balok/pilar bersisi lima, enam, dan delapan (oktagonal), kadang menyerupakan ‘piala’ atau miniatur ‘menara’, dengan mahkota kerucut. Kedua, kelompok batu nisan pipih dengan potongan yang melengkung-lengkung pada bagian mahkota. Batu nisan pipih ini seringkali dipahatkan motif hias dengan tema tetumbuhan seperti bunga teratai dan bunga melati. Sementara bahan yang digunakan jenis batuan granit putih berbintik hitam dan marmer putih.
Batu nisan pada makam tokoh penting dipahatkan kaligrafi Arab yang memuat nama orang yang mangkat dan serta gelar-gelar kehormatan serta keterangan tahun kematiannya.
Batu Nisan Makam Tengku Muhammad Husain Syah
Makam Sultan Asahan ini sangat istimewa, karena elemen makam berupa batu jirat dan batu nisannya dibuat dari batu marmer putih yang sempurna pembuatannya. Batu nirat sebagai salah satu bagian makam dibentuk dari potongan batu marmer putih monolit. Bentuk jirat seperti ini sangat jarang ditemukan dikawasan Sumatera Timur dan mungkin ini satu-satunya. Sementara batu nisan dibuat dari batu marmer putih membentuk piala dengan tubuh bersisi delapan (oktagonal) dan berpuncak kerucut.
Inskripsi yang terpahat pada sisi utara batu nisan penanda bagian kepala dengan kaligrafi Arab dan seni tulisan/pahat menggunakan khat naskhi. Teks epitaph dipahat timbul pada panil/bingkai menyerupai ‘perisai’ dan ditata dalam lima baris. Inskripsi yang dapat di baca, antara lain;
· nama orang yang dimakamkan (baris I), yaitu Tengku Muhammad Husain Syah,
· jabatannya (baris II), yaitu sebagai Sultan Asahan, dan
· angka tahun atau keterangan waktu kematiannya (baris V), sanah 1333 Hijrah atau 1914 M.
Tokoh ini dari prasasti Mesjid dan prasasti pada mimbar diketahui sebagai Sultan Asahan Tengku Muhammad Husain Syah merupakan ayah Sultan Ahmad Syah al Manshur bi Allah.
Batu Nisan Makam Sultan Ahmad Syah
Batu nisan dipotong dari jenis batuan granit putih berbintik hitam berbentuk pilar/tiang bersisi delapan. Batu nisan ini sangat sederhana pembuatannya dan dibuat berukuran kecil dalam kondisi batuan yang aus. Ini tidak sebanding dengan kedudukan sang sultan saat hidupnya yang sangat dihormati. Pada batu nisan penanda bagian kepala makam sisi selatan dipahatkan inskripsi dengan kaligrafi Arab dalam bahasa Arab dan menggunakan khat naskhi. Inskripsi dipahatkan dalam kaligrafi Arab dan tidak timbul, namun sangat aus sehingga sulit dibaca.
Batu Nisan Makam Syaikh Ahmad Syu’aib
Makam ini mempunyai batu nisan berbentuk pipih yang dibuat dari potong batuan granit putih berbintik hitam. Batu nisan dihias dengan motif yang bertema tetumbuhan dan bunga, seperti bunga teratai yang telah digayakan sedemikian rupa sehingga terkesan mengikuti pola geometrik. Rancangan bentuk batu nisan dapat digambarkan sebagai vas bunga berujuran besar dengan bunga beserta daun-daunnya yang ditata sedemikian rupa. Motif yang menghias bagian mahkota dan kaki batu nisan dipahatkan dengan pahatan timbul dangkal, terkesan sebagai goresan saja. Sementara inskripsi atau teks epitaph berupa kaligrafi Arab dengan khat tsulust dan dipahat timbul, lalu di susun dalam panil/bingkai persegi empat trapesium pada bagian badan batu nisan. Teks epitaph dipahat dengan menggunakan bahasa Arab dan dalam lima baris. Kaligrafi Arab pada batu nisan ini bukan hasil pekerjaan yang teliti dan halus.
Inskripsi yang dipahat belum dapat dibaca selurunya. Namun ada beberapa karakter huruf yang dengan jelas dapat dibaca, yaitu angka tahun atau keterangan waktu kematian dipahatkan pada kolom kusus, dipahatkan di atas panil/bingkai utama, tahun 1321 atau 1902 M.. Sementara nama tokoh yang dimakamkan dipahatkan pada baris ketiga, dipahat atas nama al marhum Syaikh (Syeh) Ahmad Syu’aib. Gelar syaikh atau syeh yang digunakan tokoh ini sebagai petunjuk al marhum merupakan tokoh guru besar dalam ilmu agama Islam di Negeri Asahan pada masanya. Pada kerajaan Islam Melayu kususnya, seorang ulama kadang berkedudukan penting dalam pemerintahan, sebagai guru dan penasehat sultan.
Batu Nisan Makam Incik ‘Arasit Abd al Muthalib
Inskripsi pada batu nisan makam Incik ‘Arasit Abd al Muthalib belum dapat dibaca seluruhnya. Tokoh ini namanya terpahat pada baris ke dua dan pada baris akhir, yaitu baris ke lima, dipakatkan tahun kematiannya 1328 Hijriah atau 1909 M. Teks epitaph dipahatkan dengan menggunakan dua bahasa, Arab dan Melayu. Pada baris awal kalimat baris pertama terdapat kata, ‘haza’ atau ‘inilah’. Sementara pada baris ke tiga dipahat dalam bahasa Melayu, berbunyi; ‘kembali ke rahmat Allah’.
Batu nisan ini memiliki kesamaan dengan batu nisan makam Syaikh Ahmad Syu’aib, baik rancangan bentuk batu nisan, kaligrafi dan motif hiasnya, serta bahan baku batuan. Hanya saja rancangan kaligrafi Arab dengan menggunakan khat tsulust ornamental pada batu nisan ini lebih teliti dan halus pengerjaannya. Jarak angka tahun kematian mereka hanya tujuh (tahun) sebagai petunjuk kedua tokoh ini hidup dalam periode yang sama.
Batu nisan dengan tahun 1326 H. (1916 M.)
akam menggunakan batu nisan balok dari jenis batuan granit berbintik hitam membentuk pilar/tiang bersisi delapan/oktagonal dan dirancang serupa piala. Kaligrafi Arab dengan gaya penulisan tsulust ornament. Pahatan hurufnya sangat teliti dan ini sebagai petunjuk bahwa yang menulis dan memahatnya seorang kaligrafer yang handal. Inskripsi sebagai teks epitaph dipahat dalam tiga baris pada panil/bingkai olips, dengan dua bagian sisi atas dan bawa dibentuk menyudut. Pada baris ke tiga terpahat keterangan waktu, ‘Rajab sanah 1326’ atau angka tahun 1916 M. dan diikuti dengan nama tohoh. Namun batu nisannya dalam kondisi sangat aus sehingga sulit untuk dibaca, kecuali gelar ‘tengku’ yang disandangnya. Baris terakhir, baris ketiga, setelah pahatan nama yang belun dibaca, dipahat kalimat, ‘kembali rahmat Allah’.
2. Makam Syekh H. Abdurrahman Silau / Syekh Silau Laut
secara administratif merupakan bagian dari Desa Silau Lama, Kecamatan Silau Laut. Menurut informasi juru kunci makam,[15] Syekh Abdul Rahman Silau atau lebih dikenal sebagai Syekh Silau Laut adalah putera dari pasangan Nahkoda Alang yang berasal dari Rao (ayah) dan Andak Siret (ibu) yang berasal dari Batubara. Ia berguru antara lain kepada Tuan Baqi dari Langkat kemudian melanjutkan ke Kedah, Kelantan, dan Pattani sebelum akhirnya menuntut ilmu ke Makkah selama tujuh tahun. Di Makkah beliau berguru kepada Syekh Daud Fathoni seorang ulama Tareqat Syattariah. Seusai menamatkan pelajarannya di Mekkah beliau kembali ke Sumatera dan mengembangkan Tareqat Syattariah di daerah Silau Laut hingga wafat pada 2 Jumadil Awal 1360 H atau 28 Februari 1941, dalam usia 125 tahun. Ia dimakamkan di desa Silau Laut. Di dekat makamnya juga terdapat makam sang istri yang bernama Hj. Maryam dan dua anaknya yaitu Syekh H. Muhammad Ali dan H. Abdul Latief.
Semasa hidupnya beliau tampaknya merupakan tokoh yang dihormati tidak saja oleh anggota jamaah Syattariah saja, bahkan para bangsawan Serdang maupun Asahan memberi perlakuan khusus terhadap beliau. Wujud dari perhatian para penguasa Asahan dan Serdang itu antara lain berupa pembuatan jalan menuju kompleks Tareqat Syattariah pimpinan Syekh Silau Laut. Awalnya adalah jalan setapak yang dirintis oleh Sultan Asahan yang kemudian diperlebar dan diperkeras atas bantuan Sultan Serdang.
XI. Kabupaten Batubara
1. Istana dan makam keluarga Niat Lima Laras
Secara administratif terletak di Desa Lima Laras, Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Nama Niat Limalaras digunakan sejak akhir abad ke-19 menggantikan nama lamanya yakni Nibung Hangus. Nama Lima Laras bermakna kelima suku yang dibawahi oleh Kerajaan Batubara, yakni:
a. Suku Lima Laras, kepala sukunya bergelar Datuk Maharaja Seri Indra
b. Suku Tanah Datar, kepala sukunya bergelar Seri Bija Diraja
c. Suku Limapuluh, kepala sukunya bergelar Seri Maharaja
d. Suku Pesisir, kepala sukunya bergelar Datuk Semu Wangsa
e. Suku Boga, kepala sukunya bergelar Datuk Indra Muda
Bangunan istananya dibangun sejak tahun 1907 hingga diselesaikan tahun 1912. Dana pembangunannya diperoleh dari keuntungan niaga Datuk Muhammad Yuda dari perdagangan dengan daerah sekitarnya bahkan hingga Singapura dan Semenanjung Malaya.[16]
Pemakaman ini berada pada halaman belakang Istana Niat Lima Laras. Dari makam yang ditemukan ada dua makam dengan batu nisan yang mempunyai inskripsi rketerangan angka tahun. Pertama batu nisan berangka tahun 1322 Hijriah atau 1903 M. yang dipahatkan pada baris terakhir, baris ke tujuh. Batu nisan kedua berangka tahun 1330 Hijriah atau 1911 M, dipahat pada baris terakhir, baris ke enam.
Batu nisan berangka tahun 1322 Hijriah atau 1903 M dari Istana Niat Lima Laras ini mempunyai kesamaan dengan batu nisan dari pemakaman keluarga Sultan Asahan, terutama batu nisan makam Syaikh Ahmad Syu’aib dan Incik ‘Arasit Abd al Muthalib. Kesamaan batu nisan tersebut dapat dilihat dari rancangan bentuk batu nisan, rancangan kaligrafi Arab dengan motif hiasnya, serta jenis bahan batuan granit putih berbintik hitam. Motif hias pada batu nisan dari Istana Niat Lima Laras dipahatkan lebih teliti dengan pahatan sedikit lebih dalam. Kaligrafi Arab dengan pahatan dan rangcangan garis-garis huruf yang sangat halus. Sementara batu nisan berangka tahun 1330 Hijriah atau 1911 M. mempunyai perbedaan dalam perancangan bentuk batu nisan. Batu nisan berupa pilar/balok serupa ‘piala’ bersisi delapan. Teks epitaph dipahatkan dalam panil/ bingkai berupa bunga berkelopak empat.
2. Kompleks Makam Wan Alang
Secara administratif terletak di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Limapuluh, tepatnya di tepi jalan raya Tanjung Tiram—Simpang Dolok. Tokoh utama yang dimakamkan di kompleks makam ini adalah seorang kepala pemerintahan daerah Limapuluh yang merupakan salah satu dari 5 wilayah Kedatukan yang berada di bawah kekuasaan Datuk Batubara. Gelar semasa memerintah Wan Alang adalah datuk Sri Maharaja Indra Muda putera dari Wan Bagus yang bergelar Datuk Ongku. Wan Alang memerintah daerah Limapuluh antara tahun 1901 hingga wafatnya pada tahun 1936. Penanda makam tokoh ini berupa sepasang nisan baru berbahan marmer dan jirat berteras-teras yang dilapisi keramik modern.
3. Keramat Kuba Batubara
Secara administratif merupakan wilayah Desa Kuala Gunung, Kecamatan Limapuluh. Lokasi ini merupakan bentang alam berupa bukit yang dikelilingi dataran rendah yang kini dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit. Menurut tradisi tutur setempat, nama “Batubara” bermula dari tempat ini, yang diawali oleh suatu peristiwa terlihatnya batu membara di puncak bukit ini. Hingga saat ini lokasi ini masih dikeramatkan oleh warga sekitar dan pada hari-hari tertentu ramai diziarahi masyarakat. Di puncak bukit ini terdapat sejumlah nisan batu yang tidak diketahui lagi siapa tokoh yang dimakamkan. Namun objek ziarah di lokasi ini bukanlah makam-makam tersebut, melainkan sebatang pohon yang di bawahnya disediakan tempat pedupaan yang dilindungi bangunan cungkup kayu beratap seng.
XII. Kota Pematang Siantar
1. Kelompok nisan marga Damanik
Batu nisan seluruhnya dirancang dengan bentuk pilar balok batu silinder dengan mahkota ratna atau bunga teratai yang digayakan atau disederhanakan bentuknya. Bagian tubuh silinder diberi pahatan dalam barupa garis-garis vertikal membentuk kontur, kadang membekas sebagai sisi sebanyak delapan sisi atau oktagonal. Goresan sederhana memberi kesan batu-batu nisan ini seperti kuntum bunga teratai.
Tim Penyusun
1. Ery Soedewo, SS, M. Hum
2. Drs. Hasanuddin, M. Si
3. Biliater Situngkir, ST
4. Chairun Niasa, S. Hum
2. Drs. Hasanuddin, M. Si
3. Biliater Situngkir, ST
4. Chairun Niasa, S. Hum
Penyunting
Dra. Sri Hartini, M.Si
Dra. Sri Hartini, M.Si
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan (Penelitian)
1. Kab. Mandailing Natasl (Madina) : 17 s/d 20 September 2010
2. Kab. Asahan : 29 September s/d 02 Oktober 2010
3. Kab. Batu Bara : 07 s/d 10 Oktober 2010
4. Kab. Labuhan Batu Induk : 21 s/d 24 Oktober 2010
5. Kab. Labuhan Batu Selatan : 05 s/d 08 Nopember 2010
6. Kab. Tapanuli Tengah : 26 s/d 29 Nopember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar